Puisi: Indonesiaku (Karya Hamid Jabbar)

Puisi "Indonesiaku" bukan sekadar puisi, melainkan karya sastra yang sarat makna, menampilkan kekayaan bahasa, dan memberikan ruang bagi pembaca ...
Indonesiaku

jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau terpampang dalam headline dan tajuk rencana koran-koran ibukota. Engkau tersenyum dan sakit gigi. Engkau malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang terpendam dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu-lalang keluar-masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang hari: bengkalaian sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak dengan rasa sesal serta malu yang purba.

Dan Maghrib pun menggema dan bel berdering nyaring dan aku terdesak ke tepi nian; namun masih sempat membayangkan engkau, kasihku, meskipun dengan terbata-bata.

jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku

Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau tunggang-langgang berpacu, bus tua yang tua-tua keladi (dipermak ditimbun di kali berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan mimpi-mimpi. Engkau yang duduk terantuk-antuk dalam pasaran dunia yang berdiri memaki-maki sepanjang jalanan gelombang berliku-liku yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih sempat membayangkan jarak yang telah dan akan dilalui (suka tak suka mandi berenang dalam telaga luka nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-bata.

jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan kaulihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan. (Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta ke mulut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah airku atau aku anak negerimu?) Tetapi aku sungguh merasa malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi malu semua : tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata.

jalan berliku-liku
        tanah airku
        penuh rambu-rambu
                indonesiaku

Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di atas luka o awan mengelilinginya bagai nusantara.

“Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku supir.
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang mendengus.
“Huss!” tulis kamus.

“Kita membutuhkan lapang!” teriak orang-orang. “Kita memerlukan kebebasan, “dengus rambu-rambu dan tiang-tiang.

“Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan.
  Orang-orang membeli karcis dan kursi
    Orang-orang duduk menari hi-hi
      Orang-orang menari sambil memaki-maki.
        Orang-orang memaki sampai bosan.
Orang-orang bosan dan bosan
                                                Bus-bus jalan.

Nusantara terpotong-potong karena bulan terpotong-potong
“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi bulan.
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,” bantah seseorang sambil makan udang.
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum bajigur.

jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku

Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang turunan rambu-rambu bermunculan.

Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang melambung hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan berjejal-jejal di mulutmu. Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu tikungan seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o luka tanah airku dalam wajahmu indonesiaku.

jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku lukamu lukaku

STOP

1978

Sumber: Horison (November, 1979)

Analisis Puisi:
Puisi "Indonesiaku" karya Hamid Jabbar adalah sebuah karya sastra yang mencerminkan kekayaan bahasa dan kepelbagaian makna. Puisi ini menghadirkan gambaran yang kuat dan mendalam tentang kondisi tanah air, sekaligus membangkitkan rasa cinta, kepedihan, dan kecemasan.

Penyajian Gambaran Tanah Air: Puisi ini dimulai dengan gambaran "jalan berliku-liku" yang mencerminkan kompleksitas perjalanan atau kehidupan dalam konteks tanah air. "Tanah airku penuh rambu-rambu" memberikan nuansa aturan dan petunjuk yang harus diikuti.

Metafora dan Personifikasi: Pemilihan metafora seperti "Sehelai karcis di genggaman" dan personifikasi dalam kalimat "Engkau tersenyum dan sakit gigi" memberikan karakter dan emosi pada tanah air, seolah-olah tanah air menjadi entitas yang hidup dan memiliki perasaan.

Dialog dan Narasi Puisi: Penggunaan dialog antara tanah air dan penutur menciptakan hubungan yang lebih personal dan menambah dimensi dramatis dalam puisi ini. Dialog ini memberikan kesempatan pada pembaca untuk melihat pandangan tanah air dari sudut pandang yang lebih dekat.

Pemilihan Kata dan Frasa: Pemilihan kata-kata seperti "terpampang dalam headline dan tajuk rencana koran-koran ibukota" menunjukkan bagaimana tanah air hadir dalam berita dan informasi, menciptakan kesan bahwa tanah air selalu menjadi fokus perhatian.

Gambaran Perjalanan dan Perasaan: Deskripsi perjalanan dengan bus tua yang "tua-tua keladi" menciptakan gambaran perjalanan yang sulit dan penuh tantangan. Perasaan cemas dan malu tergambar dari narasi yang bercampur-baur dan merujuk pada keadaan yang tidak selalu baik.

Pemenggalan dan Pemisahan: Penggunaan repetisi frasa "jalan berliku-liku, tanah airku, penuh rambu-rambu, Indonesiaku" memberikan ritme dan kekuatan pada puisi, sekaligus menekankan pentingnya setiap elemen tersebut.

Kontras dan Konflik: Puisi menciptakan kontras antara citra positif dan negatif, seperti "Engkau yang duduk terantuk-antuk" dan "mabuk lebih dalam lagi." Ini menciptakan perasaan konflik dan ketidakpastian dalam hubungan antara penutur dan tanah airnya.

Kritik Sosial: Dalam penggambaran bus jalan yang tua dan kondisi jalan yang sulit, puisi ini memberikan gambaran tentang tantangan dan masalah infrastruktur di dalam negeri. Selain itu, kritik sosial terhadap keadaan pendidikan dan kebijakan juga tercermin melalui frasa "seribu tanda sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku."

Puisi "Indonesiaku" bukan sekadar puisi, melainkan karya sastra yang sarat makna, menampilkan kekayaan bahasa, dan memberikan ruang bagi pembaca untuk merenung. Melalui dialog antara penutur dan tanah air, puisi ini menciptakan hubungan yang intim dan penuh emosi, memberikan gambaran kompleks dan mendalam tentang kondisi Indonesia.

Puisi: Indonesiaku
Puisi: Indonesiaku
Karya: Hamid Jabbar

Biodata Hamid Jabbar:
  • Hamid Jabbar (nama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar) lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
  • Hamid Jabbar meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.