Puisi: Isyarat Lailatul Qadar (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Isyarat Lailatul Qadar" membawa pembaca dalam perjalanan spiritual yang penuh dengan keajaiban, keberkahan, dan keindahan malam Lailatul Qadar.
Isyarat Lailatul Qadar

malam pun sunyi saat aku di pelataran
ada seberkas cahaya menerpa hati gersang
ada rahmat terlimpah pada seluruh umat
ada pertanda tuhan, ada semacam isyarat

angin pun berhenti dan senyap mengendap
ketika aku sujud terbata-bata di bumi hitam
ada radar lailatul qadar dari indahnya lanskap
ada hati bergetar merapal tahmid di keheningan

aku pun tenggelam di malam seribu bulan
tersungkur menangis tersedu di sajadah kemuliaan
melangitkan doa dan mendambakan maghfirah
melayari lautan keagungan dan rahasia allah

malam pun sepi saat aku bersyahadat cintamu
ada sebutir bintang yang jauh di langit kelabu
ada seberkas kilau sinarmu memancar di sukma
ya rabbi, basuhlah, basuhlah, kegelapan dosa-dosa

2020

Analisis Puisi:
Puisi "Isyarat Lailatul Qadar" karya Gunoto Saparie mempersembahkan suatu gambaran tentang malam Lailatul Qadar, malam yang dianggap istimewa dalam tradisi Islam. Dengan kata-kata yang indah, penyair menggambarkan nuansa malam yang penuh dengan keberkahan dan rahmat.

Cahaya dan Kesejukan Hati: Penyair membuka puisi dengan gambaran malam yang sunyi dan seberkas cahaya yang menerpa hati yang gersang. Ini menciptakan kontrast antara keheningan malam dan cahaya yang membawa kesegaran pada hati yang mungkin telah merasa kering.

Rahmat Terlimpah pada Seluruh Umat: Sentuhan rahmat yang terlimpah pada seluruh umat menjadi tema penting. Penyair menciptakan nuansa universalitas, mengisyaratkan bahwa rahmat Allah mencakup seluruh umat manusia, tanpa memandang perbedaan.

Isyarat dan Pertanda Tuhan: Pernyataan tentang adanya isyarat dan pertanda Tuhan menunjukkan bahwa malam tersebut dianggap sebagai momen khusus, di mana Tuhan memberikan tanda-tanda kehadiran-Nya. Ini menciptakan atmosfer keagungan dan misteri.

Sujud dan Radar Lailatul Qadar: Penggambaran saat sujud dengan bata-bata di bumi hitam menciptakan citra ketaatan dan kerendahan hati. Penyair menyebut adanya "radar Lailatul Qadar," memberikan kesan bahwa malam tersebut memiliki frekuensi khusus yang dapat dideteksi melalui ketaatan.

Malam Seribu Bulan: Penyair menggambarkan malam sebagai seribu bulan, menyiratkan keindahan dan kemuliaan yang melampaui kebesaran satu bulan penuh. Ini menciptakan gambaran tentang keajaiban malam Lailatul Qadar.

Sujud di Bumi Kemuliaan: Sujud di bumi kemuliaan menjadi simbol pengabdian dan ketundukan. Penyair merasakan momen yang penuh keagungan ketika menyentuh tanah sebagai bentuk ibadah.

Mengarungi Lautan Keagungan dan Rahasia Allah: Ekspresi mengarungi lautan keagungan dan rahasia Allah menunjukkan semangat pencarian spiritual dan kerinduan untuk mendekati Allah. Penyair menghadirkan citra perjalanan spiritual yang mendalam.

Syahadat Cinta dan Kilau Sinarmu: Mengungkapkan syahadat cinta di malam yang penuh keberkahan adalah wujud rasa kasih dan pengabdian. Kilau sinar Allah yang memancar di sukma menciptakan atmosfer ketenangan dan cinta Ilahi.

Basuhan Kegelapan Dosa: Penutup puisi membawa nuansa penyesalan dan permohonan ampun. Penyair merayakan kemungkinan pembersihan dari dosa-dosa melalui rahmat Allah, menciptakan harapan dan optimisme.

Puisi "Isyarat Lailatul Qadar" membawa pembaca dalam perjalanan spiritual yang penuh dengan keajaiban, keberkahan, dan keindahan malam Lailatul Qadar. Melalui imaji yang kaya dan kata-kata yang penuh makna, penyair menggambarkan nuansa malam yang suci dan mengajak pembaca untuk merenungkan keagungan Tuhan serta mendambakan ampunan dan kasih-Nya. Puisi ini merangkum esensi spiritualitas dan keimanan dalam kesejukan hati yang mencari cahaya kebenaran.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Isyarat Lailatul Qadar
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). 

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang) dan Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.