Puisi: Melewati Trotoar Otista (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Melewati Trotoar Otista" karya Gunoto Saparie merenungkan tentang perjalanan melalui kota, aroma makanan, dan hubungan yang berkembang ...
Melewati Trotoar Otista


melewati trotoar jalan otista
kita pun menyusuri senja basah kelabu
menikmati lanskap lampu-lampu kota
kita pun terus berjalan riang gembira

aroma sate kambing betapa mengundang
aku tahu kau akan menyeretku ke sana
mersik bajumu bergesekan dengan badan
aku tahu sebentar lagi kita sampai jua

melewati trotoar jalan otista
jejak-jejak kita mengabur samar
riuh lalu lintas tak ada artinya
bersentuhan kulit kita pun berdebar

di meja restoran ada daftar menu
kau pun menyebut ini dan itu
aku menahan lapar sejak siang
ayo, bisakah lekas, bisakah lekas, sayang…


2020

Analisis Puisi:
Puisi adalah medium sastra yang memungkinkan penyair untuk menggambarkan pengalaman, emosi, dan pemikiran mereka melalui kata-kata. Dalam puisi "Melewati Trotoar Otista" karya Gunoto Saparie, kita disajikan dengan gambaran perjalanan melalui kota, aroma makanan, dan hubungan yang merayap. Puisi ini menggambarkan momen yang sepele namun memiliki makna mendalam.

Mengabur Jejak: Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang perjalanan melalui jalan Otista. Kata-kata "melewati trotoar jalan Otista" menggambarkan adegan yang sederhana, di mana dua orang sedang berjalan bersama. Namun, ada elemen misterius di sini, dengan pernyataan bahwa "jejak-jejak kita mengabur samar." Ini menciptakan nuansa ketidakpastian dan menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara dua individu ini.

Riuh Kota dan Perasaan: Puisi ini juga menggambarkan lanskap kota yang cemerlang dengan "lampu-lampu kota," yang menciptakan nuansa kehidupan malam yang sibuk. Namun, di tengah riuhnya kota, pemain gitar menciptakan perasaan "bersentuhan kulit kita pun berdebar." Ini menggambarkan ketegangan atau ketegangan emosional yang muncul di tengah keramaian kota.

Aroma Makanan dan Kenangan: Aroma sate kambing yang mengundang menciptakan gambaran lain yang kuat dalam puisi ini. Aroma ini menjadi pengingat kenangan atau pengalaman bersama. Penyebutan "mersik bajumu bergesekan dengan badan" menciptakan gambaran fisik yang sensual dan menggambarkan ketegangan antara dua individu.

Restoran dan Hubungan: Di meja restoran, hubungan antara dua individu ini menjadi pusat perhatian. Daftar menu yang disebutkan menciptakan nuansa keputusan yang harus diambil, seperti dalam hubungan. Aku dan kau yang berbicara tentang menu menciptakan ketegangan dan harapan. Pernyataan "ayo, bisakah lekas, bisakah lekas, sayang…" adalah tanda penutup yang penuh harapan, mengisyaratkan bahwa ada keinginan untuk merapatkan hubungan ini.

Puisi "Melewati Trotoar Otista" karya Gunoto Saparie adalah karya yang merenungkan tentang perjalanan melalui kota, aroma makanan, dan hubungan yang berkembang antara dua individu. Puisi ini menciptakan gambaran sepele tetapi penuh dengan nuansa dan perasaan. Ini adalah pengingat akan kompleksitas hubungan manusia dan bagaimana momen-momen sehari-hari dapat memiliki makna yang mendalam. Gunoto Saparie telah berhasil menggambarkan perasaan dan pengalaman melalui kata-katanya.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Melewati Trotoar Otista
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). 

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang) dan Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.