Puisi: Noktah-Noktah Asia (Karya Isma Sawitri)

Puisi "Noktah-Noktah Asia" membawa pembaca ke masa lalu dengan merujuk pada Perang Dunia II. Sebagai contoh, Jip tua sisa Perang Dunia II dan air ....
Noktah-Noktah Asia
kepada Bay Win dan U Hla Twe


Segaris jalan, jalan tanah berdebu, 
                        mengingatkan aku padamu
Jip tua sisa Perang Dunia kedua, air strip di Pagan, beberapa
                        lelucon tajam yang akan selalu akan diulang
katakan sahabat, anak timbangan candu itu sudah terjual berapa
kisahkan pasar malam, polisi rahasia, buku-buku yang kaudamba

Mungil kecil tangan yang papa, mengingatkan aku padamu
kaki tanpa sepatu, kembang melati untuk rambutku
pitaka tertanam di bukit Mandalay, angin mengiang dari semua penjuru
anak tangga seribu, belum juga terjangkau sukma Asia
Padang sabana, kereta kuda yang terlunta, merah tembaga di mana-mana
di ketinggian Ananda, mestinya sang raja merenung nirwana dahulu kala
dari Anawratha ke sosialis Burma lika-likunya sulit sempurna
akhirnya kau cerca Marx yang memang bukan Buddha Gautama

Irawadi makin tohor, makin lamban membelah dataran
pendulang intan terbungkuk di sana, noktah renta terbungkuk nestapa
selusin turis dari Moskow bercengkerama di hotel atau pagoda
mereka menikmati matahari sembari unjukkan citra Rusia

Di sudut-sudut kota tua yankee Charles Brown berburu ruby
di lepas pantai selatan teknisi Nippon menggaru minyak bumi
cerlang menjulang Shwe Dagon, terdiam Lili Tha sesudah bertanya
mendung hari depan berkaca kelam di matanya

Para bhiksu bersendiri, tanpa kata hanya rupa
para bhiksu semedi abadi dalam bingkai lensa sarjana Amerika
polisi rahasia entah di mana, angin malas terantuk di beranda
di sini tanpa gema, kudengar Asia memanggil Asia


Sumber: Horison (Juni, 1983)

Analisis Puisi:
Puisi "Noktah-Noktah Asia" membawa pembaca ke masa lalu dengan merujuk pada Perang Dunia II. Sebagai contoh, Jip tua sisa Perang Dunia II dan air strip di Pagan membawa nuansa nostalgia dan memori yang terkait dengan sejarah pahit.

Imaji Puisi: Jip Tua, Air Strip, dan Anak Tangga Seribu: Isma Sawitri menggunakan imaji yang kaya untuk membentuk lanskap puisinya. Jip tua, air strip, anak tangga seribu, dan pitaka di bukit Mandalay adalah elemen-elemen yang menciptakan gambaran yang kuat dan memikat.

Kisah Pasar Malam, Polisi Rahasia, dan Buku-buku; Realitas Kehidupan Sehari-hari: Dengan menyebutkan pasar malam, polisi rahasia, dan buku-buku yang dicari, puisi ini mengeksplor realitas kehidupan sehari-hari di Asia. Hal ini menciptakan kontrast antara kehidupan sehari-hari dan gambaran masa lalu dan sejarah.

Nostalgia dan Hubungan Pribadi, Tangan Kecil dan Kaki Tanpa Sepatu: Tangan kecil yang menciptakan kenangan tentang sosok pribadi, bersamaan dengan kaki tanpa sepatu dan kembang melati untuk rambut, menunjukkan nuansa kehangatan dan hubungan pribadi dalam konteks lanskap yang luas.

Topografi dan Keragaman Asia, Padang Sabana hingga Pantai Selatan: Puisi ini merangkum topografi dan keragaman Asia, mulai dari padang sabana hingga pantai selatan. Dengan menyebutkan kereta kuda, tembaga merah, Ananda, dan sejarah Burma, puisi ini menciptakan peta visual dan sejarah yang kompleks.

Perbandingan Budaya dan Politik, Marx dan Buddha Gautama: Puisi ini menggambarkan perbandingan antara budaya dan politik dengan merinci cercaan terhadap Marx yang bukan Buddha Gautama. Hal ini menciptakan lapisan kritis dan menunjukkan kompleksitas perubahan sosial dan politik di Asia.

Irawadi dan Pendulang Intan, Kritik Sosial dan Noktah Renta: Merujuk pada Irawadi dan pendulang intan yang terbungkuk, puisi ini menghadirkan gambaran sosial tentang kesenjangan dan noktah renta yang menghantui masyarakat Asia.

Pertemuan Budaya dan Politik, Turis dari Moskow dan Charles Brown: Pertemuan budaya dan politik tercermin dalam gambaran turis dari Moskow dan Charles Brown yang berburu ruby. Hal ini menyoroti pengaruh internasional dan kompleksitas hubungan antarbangsa.

Dua Realitas, Matahari dan Mendung Hari Depan: Puisi ini menunjukkan perbedaan antara dua realitas dengan menyebutkan matahari yang dinikmati oleh turis dan mendung hari depan yang menggambarkan kegelapan di matanya Lili Tha.

Akhir puisi dengan kalimat "Asia memanggil Asia" memberikan kesan identitas dan kebersamaan di tengah beragam keadaan dan perubahan. Pemanggilan ini menciptakan narasi yang mendalam tentang hubungan antara individu dan identitas kulturalnya di tengah perubahan yang terus-menerus.

Isma Sawitri
Puisi: Noktah-Noktah Asia
Karya: Isma Sawitri

Biodata Isma Sawitri:
  • Isma Sawitri lahir pada tanggal 21 November 1940 di Langsa, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.