Puisi: Sebentar Lagi Fajar (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Sebentar Lagi Fajar" karya Gunoto Saparie mengekspresikan keindahan dan makna mendalam dalam ibadah Subuh, yang merupakan waktu shalat ....
Sebentar Lagi Fajar


ketika azan subuh menggetarkan kalbu
dan menguak renyai gerimis sejak dini hari
aku pun bergegas mengambil air wudu
dingin merayap di seluruh tubuh dan hati

sebentar lagi fajar menafsir ayat ilahi
sebentar lagi malam akan ditinggalkan
di dedaunan angin gelisah tiada henti
mengirimkan sinyal-sinyal keimanan

aku pun sujud berlama-lama
menghayati arti persinggahan fana
memaknai jarak hamba dan pencipta
mengeja tasbih penuh rahasia


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Sebentar Lagi Fajar" karya Gunoto Saparie adalah karya yang mengekspresikan keindahan dan makna mendalam dalam ibadah Subuh, yang merupakan waktu shalat pertama dalam agama Islam. Melalui penggunaan imaji alam, pengalaman personal, dan perasaan spiritual, penyair berhasil menyampaikan nuansa keagamaan dan refleksi pada hubungan manusia dengan Tuhan.

Pembukaan yang Kuat: Puisi dimulai dengan penggambaran suara azan Subuh yang "menggetarkan kalbu" dan merangkul pembaca dalam suasana religius yang khusyuk. Suara azan menjadi panggilan untuk mempersiapkan diri dalam beribadah dan mencari ketenangan batin.

Simbolisme Alam: Penyair menggunakan gambaran renyai gerimis dan dingin air wudu untuk menciptakan atmosfer yang memancarkan kebersihan dan kesucian. Gerimis dapat diartikan sebagai pembersihan jiwa dan wudu sebagai simbol kesiapan untuk beribadah. Simbolisme alam ini juga mengingatkan pembaca pada pentingnya kesederhanaan dan ketulusan dalam ibadah.

Antisipasi Fajar: Puisi ini menangkap momen antara malam dan fajar, di mana "sebentar lagi fajar" akan menafsirkan ayat-ayat ilahi. Ini merujuk pada waktu Subuh yang memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam agama Islam. Penyair berhasil menggambarkan rasa antisipasi yang muncul menjelang datangnya fajar, yang juga menggambarkan harapan dan cahaya dalam hidup.

Gelisah Angin: Gambaran "dedaunan angin gelisah tiada henti" menciptakan nuansa alam yang hidup dan bergerak dalam rangkaian waktu. Gelisah angin menggambarkan ketidakstabilan dunia dan hidup, seiring dengan perubahan waktu dan keadaan. Ini mengingatkan manusia untuk merenungkan sifat fana dan keterbatasan dunia ini.

Kedalaman Spiritual: Pada akhir puisi, penyair merenungkan makna kehadiran manusia sebagai hamba Tuhan. Sujud yang berlama-lama dan "menghayati arti persinggahan fana" menggambarkan kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta. Hal ini juga mengekspresikan rasa ketundukan dan penghormatan yang dalam terhadap kehadiran Tuhan.

Pesan: Puisi "Sebentar Lagi Fajar" oleh Gunoto Saparie mengajak pembaca untuk merenung tentang nilai-nilai spiritual, kesucian, dan koneksi manusia dengan Tuhan. Melalui imaji alam dan pengalaman ibadah, puisi ini menggambarkan perasaan yang mendalam dalam beribadah dan merenungkan makna kehidupan.

Puisi "Sebentar Lagi Fajar" adalah karya yang mencerminkan keindahan dan kekhusyukan dalam ibadah Subuh. Penyair menggunakan imaji alam dan perasaan spiritual untuk menggambarkan pengalaman religius dan refleksi atas keterbatasan manusia di hadapan Tuhan. Puisi ini berhasil membangun suasana yang penuh makna dan mendalam, mengajak pembaca untuk merenung tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Sebentar Lagi Fajar
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). 

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang) dan Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.