Puisi: Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah" karya Tjahjono Widarmanto mencerminkan pandangan kritis terhadap pendidikan sejarah di lingkungan ..
Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah


Sejarah merambat di tembok-tembok sekolah. Bacalah, bagi mereka yang percaya masa lalu adalah ketuban masa depan! Lipatan-lipatan patah disambung-sambung seperti untaian merjan. Masa lalu, masa kini dan yang kelak tiba. Selalu rapuh, tapi kita tak hanya dipaksa menghapal, namun juga harus menghikmatinya - kata guru sejarah yang selalu berkumis meniru foto hitler yang disimpannya di kotak korek api.

Sejarah merambat di tembok-tembok sekolah. Hapalkan nama-nama, catat peristiwa-peristiwa! Hayooo, bersoraklah, nyanyikan lagu-lagu perang. Itulah bilik yang harus engkau jaga sebab sarat nilai dan mitologi-mitologi! Keyakinan pada peluh dan nasib yang selalu kalah diseruduk tank-tank baja.

Merambat di tembok-tembok sekolah, sejarah yang sekedar dibolak-balik dan ditepuktangani berkali-kali seperti menertawai badut yang menggoyang-goyang pantatnya. Akrobat sirkus yang tak pernah usai melompat-lompat di ranjang kamar asrama anak-anak sekolah, seperti hantu yang gentayangan di lokalisasi. Apa yang bisa bisa dipungut kembali?

Sejarah merambati tembok-tembok sekolah. Dirgahayu! Dirgahayu! Merdeka Atoe Mati! Pelor pestol senapan berdesing-desing, golok berkilat-kilat, sepatu terbalik, terompet ditiup melengking-lengking. Tas-tas sekolah berhamburan. Isinya bertebaran: potlot, telpon seluler dan kondom. Jalesveva Jayamahe! Si Jangkung itu datang 350 kali. Verenigde Oos Indische Compagnie, kongsi dagang, tapi bukan dagang daging sapi. Di zaman itu daging tak melenguh tak seperti di zaman partai daging lunak melenguh di mana-mana. Tainya nempel di sana kemari. Di dasi para birokrat, di palu penguasa, di sepatu politisi, di uniform polisi, di baret para serdadu, juga di peci para ustad. Antum, tersesat di mana? Tak jauh-jauh kok: di pusat lunak daging!

Sejarah merambat di mana-mana. Meleleh. Di halaman sekolah, naik pohon trembesi, memanjat tiang bendera. Berkibar-kibar. Lihat, di ujung dermaga Si Mata Sipit berlari-lari menghunus bayonet yang telanjang. Hore, hore, daging mentah di mana-mana! Hymne diperdengarkan. Orang-orang takjub bersedekap dengan napas terengah-engah mabuk api: patriotisme butuh mesiu! Nasionalisme adalah diperas setuntas-tuntasnya!

Sejarah melompat-lompat di genting-genting sekolah. Jangan terbenam lagi dalam tidur lelap. Mimpimu akan sarat kemurungan dan tikungan-tikungan yang berbahaya. Berpetualanglah seperti para bandit. Siswa siswi lalu lalang bawa pedang, selipkan belati di pinggang. Darahmu pantas ditumpah, sebab aku bangsa penakluk, pewaris Gajah Mada! Tanah-tanah becek. Bunga-bunga kamboja berserak. Ibu-ibu menangis memasang pigura foto anak-anaknya di atas pintu rumah. Bendera separo tiang, tapi tak seorangpun berkhidmat tabik. Jalan-jalan menjulur ke tepian-tepian. Tak ada yang saling kenal. Mana fiksi mana fakta?

Merambat mundur, sejarah melata di genting-genting sekolah. Pemimpin dan wakil rakyat pidato berapi-api tentang tempe bacem dan cerutu. Parpol-parpol seperti cendawan. Bau daging bertebaran melayang-layang serupa asap ganja. Radio-radio mengabarkan gang-gang gelap sarang narkoba. Assalamualaikum di mana-mana, tapi tak satupun menyahut. Diam-diam orang-orang mendengar hymne kebangsaan sambil menyiapkan perang. - Negeri ini masih muda dan tak pernah mau beranjak dewasa - desis guru sejarah itu, dengan kumisnya yang nyepor.

Sejarah merambat di tembok-tembok sekolah. Meteran yang bisa muler mungkret menghitung inci dan hasta. Penggali-penggali kubur menandai tanah-tanah yang pantas di gali seperti Alexander Zulkarnaen yang menunjuk-nunjuk peta. Mahasiswa luber di kota-kota seperti bah kehilangan bendungan. Serdadu-serdadu terkantuk-kantuk di perempatan-perempatan. Penangkapan dan kompromi di mana-mana. Hai, tidurmu tertunda.

Sejarah merambat ke arah antah berantah. Ditulis di kertas-kertas tisu. Di pahat di gerbang-gerbang penjara. Di cetak di kartu-kartu nama. Rasa takut dipancang di depan sekolah, kampus dan kursus-kursus. Sejarah adalah sumbu merjon! Anak-anak menyalakannya dan dooor. Meledak serupa serbuk susu berterbangan. Para penyair memburunya menitip salam rindu pada para selingkuhannya. Dear darling! Di sini dan di sana anak-anak mulai paham mengapa ayahnya suka memukulinya. Mulai mengerti laki-laki dewasa itu suka mengunyah daging sapi sambil tumpang tindih,  pilin memilin dengan perempuan-perempuan berambut cepak bertato di paha.

Sejarah merambati tembok-tembok sekolah. Memanjati apa saja. Merambati siapa saja. Ngalir ke mana-mana. Ke bak kamar mandi, ke got comberan sampai ke saku para guru.


Analisis Puisi:
Puisi "Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya yang mencerminkan pandangan kritis terhadap pendidikan sejarah di lingkungan sekolah. Dengan gaya bahasa yang tajam dan ironis, penyair menggambarkan bagaimana pembelajaran sejarah seringkali hanya berfokus pada hafalan nama-nama dan peristiwa-peristiwa penting, tanpa memahami makna sebenarnya di baliknya.

Tema Kritis terhadap Pembelajaran Sejarah: Tema utama dalam puisi ini adalah pandangan kritis terhadap pembelajaran sejarah di sekolah. Penyair mengkritisi pendekatan yang hanya memaksa siswa untuk menghafal fakta-fakta sejarah tanpa benar-benar memahami makna di baliknya. Puisi ini menyuarakan kegelisahan terhadap metode pendidikan yang hanya fokus pada aspek hafalan dan kurang mengajarkan pemahaman dan refleksi.

Gaya Bahasa Tajam dan Ironis: Penyair menggunakan gaya bahasa yang tajam dan ironis untuk menyampaikan pandangannya. Pilihan kata-kata yang mengandung sindiran dan ejekan terhadap pendekatan pendidikan sejarah yang kurang bermakna memberikan kesan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap sistem pendidikan.

Kritik terhadap Nasionalisme Berlebihan: Puisi ini juga menyuarakan kritik terhadap nasionalisme yang berlebihan dan terkadang disalahgunakan dalam konteks pendidikan. Penyair menggambarkan bagaimana upaya untuk memupuk nasionalisme seringkali melupakan nuansa sejarah yang sebenarnya, dan hanya berfokus pada retorika heroik dan patriotik.

Penggambaran Proses Belajar: Puisi ini menggambarkan gambaran proses belajar di sekolah, termasuk interaksi antara guru dan siswa, serta cara siswa menerima materi pembelajaran. Dalam gambaran ini, ada perbedaan antara harapan dan kenyataan di dalam kelas.

Pesan tentang Pemahaman Sejarah yang Dalam: Melalui gaya bahasa yang kritik dan ironis, penyair ingin menyampaikan pesan penting tentang pentingnya pemahaman mendalam terhadap sejarah. Hafalan semata tanpa pemahaman hanya menciptakan generasi yang kurang kritis terhadap realitas sejarah dan kurang mampu mengambil pelajaran berharga dari masa lalu.

Puisi "Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah" merupakan sebuah pengkritik keras terhadap pendekatan pembelajaran sejarah di sekolah yang hanya fokus pada hafalan tanpa memahami makna sebenarnya di balik peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan gaya bahasa tajam dan ironis, puisi ini mengingatkan akan pentingnya pemahaman mendalam terhadap sejarah untuk mendorong pemikiran kritis dan refleksi yang lebih dalam.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Sejarah Merambat di Tembok-Tembok Sekolah
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.