Puisi: Tangerang (Karya Syahril Latif)

Puisi "Tangerang" karya Syahril Latif membawa pembaca ke dalam pengalaman kesedihan, kehilangan, dan perubahan. Melalui deskripsi rumah tua yang ...
Tangerang

Persis seperti yang selalu kubayangkan dalam angan-angan karena begitulah kuterima waktu pertama kali diceritakan: Rumah itu bercat putih, sebuah rumah tua yang besar, masih tampak bekas kemegahannya, peninggalan seorang Meneer Belanda, sisa-sisa kekayaan yang sirna kelihatan pada temboknya dan pilar-pilarnya yang agung berukir mengingatkanku pada rumah-rumah tuan tanah di New Orleans, Mississipi, dalam novel-novel William Faulkner; atapnya dari kayu besi, pekarangannya luas tak teratur, tak terurus. Teringat juga zaman vd seperti dalam buku pelajaran menggambar. Hanya tak tampak bendi berkudanya. Di depannya tumbuh sebatang mahoni tua berdaun lebat. Teduh dan nyaman.

Ya, di situlah di tinggal, memencilkan diri bagai orang terbuang, sisa-sisa kejayaan yang runtuh dengan anak lima dan istri yang setia. Bekas direktur dari sebuah pabrik pemintalan benang.

Di belakangnya: tanah pekuburan yang ditinggalkan terbengkalai.

Gundukan tanah seperti bukit-bukit kecil yang ditumbuhi rerumputan liar tak terurus. Dan angin mendesai dari padang terbuka.

Semak-semak keremunting, semak-semak liar yang tak kutahu jenisnya, bergoyang malas. Lalu angin siang itu pun sunyi.

Seekor jago terbang ke pagar untuk bertengger, mengepak, lalu berkokok dua kali.

Di samping rumah ada jalan setapak yang rumputnya baru disiangi.

Mobil kutinggal di tepi jalan. Tiba-tiba dilihatnya aku dari sudut rumah. Ia sedang mengunggun sampah, asapnya pecah kena angin.

“Hai, Ril! Kau itu?! Tumben sudah lama tidak muncul. Kemana saja?”

Aku melambai tangan.

“Ambil jalan sini! Dekat ke pinggir! Hati-hati keinjak tai kebo. Tadi barusan banyak lewat di sini!”

Ramahnya masih seperti dulu. Sedikit pun tak tampak derita kesusahannya, walau aku tahu ia sekarang sedang nganggur sehabis pemecatan dari pabriknya.

“Mana Ati?! Mana anak-anak?! Kenapa tak dibawa?!” teriaknya.

Aku tak bisa menjawab. Tiba-tiba ada rasa tersekat di kerongkonganku.

Astagfirullah, dia belum tahu?

Sumber: Horison (Januari, 1979)

Analisis Puisi:
Puisi "Tangerang" karya Syahril Latif adalah sebuah gambaran perihal perubahan, kehilangan, serta kesendirian yang diungkapkan melalui sudut pandang pribadi seseorang yang kembali ke tempat yang familiar, tetapi telah mengalami transformasi yang menyedihkan.

Deskripsi Tempat dan Kenangan: Penyair dengan detail deskripsinya menampilkan rumah tua yang pernah megah, namun sekarang terabaikan. Rumah ini merupakan simbol kejayaan yang telah pudar, merepresentasikan perubahan dalam kehidupan. Deskripsi detail ini juga membawa asosiasi dengan gambaran rumah-rumah dalam novel William Faulkner, memberikan nuansa nostalgia serta kontras antara masa lalu yang gemilang dengan masa kini yang terlupakan.

Simbolisme Kehidupan: Penyair juga memperlihatkan simbolisme yang kuat, seperti tanah pekuburan terbengkalai di belakang rumah, yang merupakan representasi dari kehilangan, kesepian, dan keterabaikan. Perbandingan antara rumput yang tak terurus dan angin yang menyapu padang terbuka juga menunjukkan kesunyian dan kekosongan.

Interaksi Manusia dengan Lingkungannya: Puisi ini menciptakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Pertemuan dengan teman yang familiar menyoroti perubahan dan kehilangan dalam hidupnya, menggambarkan kesulitan hidup dan kehilangan pekerjaan dengan halus. Penyair merenungkan kehilangan yang belum terungkap pada pertemuan itu, menambahkan lapisan kegelisahan dan kesedihan yang tersembunyi.

Kesedihan yang Tersirat: Puisi ini menggambarkan kesedihan yang tersirat, yang mungkin berkaitan dengan pengalaman traumatis atau kehilangan yang belum diungkap. Hal ini ditunjukkan pada reaksi penyair yang tercekat saat pertanyaan pertemanannya muncul, memberi kesan bahwa ada sesuatu yang belum diungkapkan.

Kesimpulan Reflektif: Puisi berakhir dengan pertanyaan "Astagfirullah, dia belum tahu?" yang memberi kesan bahwa ada rahasia atau kesedihan yang belum terungkap pada penyair, menciptakan ketidakpastian dan ketidakjelasan.

Puisi "Tangerang" karya Syahril Latif membawa pembaca ke dalam pengalaman kesedihan, kehilangan, dan perubahan. Melalui deskripsi rumah tua yang terlupakan, interaksi manusia dengan lingkungannya, serta pertemuan yang memunculkan pertanyaan tak terjawab, puisi ini menggambarkan kesunyian, kekosongan, dan kesedihan yang menghantui dalam kehidupan manusia.

Puisi
Puisi: Tangerang
Karya: Syahril Latif

Biodata Syahril Latif:
  • Syahril Latif lahir pada tanggal 3 Juni 1940 di Silungkang, Sumatera Barat.
  • Syahril Latif meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 1998 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.