Puisi: Tentang Selamat (Karya Hamid Jabbar)

Puisi: Tentang Selamat Karya: Hamid Jabbar
Tentang Selamat (I)

"Selamat Siang," katamu. Tapi aku tidak menemukan matahari di langit sana, hanya segumpal awan dari rinduku terkatung katung di ranting kering yang begitu asing dan menyita cahaya mataku.

"Selamat sore; kataku. Tapi engkau hanya terdiam di situ, di ranting kering itu, tidak menoleh sedikit pun juga ke mana-mana, tidak juga ke kaki langit di mana matahari sedang meluncurkan diri serta
cahaya ke dalam rahang kegelapan dan sang waktu: menganga dan meluncur dengan semangat bergelora.

Siapakah yang menggerakkan matahari begitu anehnya hingga engkau dan aku saling berbeda menetapkan waktu pada saat yang sama?

Ataukah waktu telah begitu gelap, jauh berbeda segalanya, juga sikapnya terhadap engkau dan aku, hingga kita pun saling berbeda jadinya, dalam mengucapkan sesuatu apa pun namanya
sementara kita masih ingin juga berbincang dan berbincang lagi di sini: tentang matahari, langit awan, rindu dan seterusnya yang semuanya begitu jelas terpancar dari mata engkau dan aku...

"Selamat malam," kata bulan. Tapi kita tak kuasa membalasnya, hanya mengusap mata, mengusap dada, pelan dan pelan serta kedinginan. Dan bulan pun batuk-batuk begitu kerasnya, halilintar adalah dahaknya yang menghempas keras hingga berjuta-juta bintang jatuh luruh bagai kapas.
Siapakah yang menggerakkan semesta begitu anehnya: begitu rupa?
Ataukah saatnya telah tiba?

"Selamat, sesampai waktu ..., pintamu.
Tapi apakah yang terempas di dadakku: kering atau rindu?
"Selamat, semogalah ..." pinta bulan.
Tapi apakah yang menggenangi engkau dan aku: darah atau pasrah?
Kapas atau ikhlas?
Atau apakah ...

Tentang Selamat (II)

"Selamatkan negeri ini," begitu tertulis dalam mimpi
yang digeluti sejuta kanak-kanak yang menangis
dan bernyanyi silih berganti; sementara gerimis
mengibaskan sayap rindunya ke ujung-ujung negeri.
Ada laut dan gunung bertemu di situ
di pantai berkarang itu.
Ada gemuruh dan sunyi berpadu di situ
di lambai juang itu.
Ada kilat dan guruh berseru di situ
di untai sayang itu.

Demi rindu, wahai Kekasih
tuliskan bagi kami
Keselamatan yang Hakiki
yang Inti.

"Selamatkan negeri ini," tapi itu bukan dalam mimpi.
Ia mengada kini dalam gembur bumi dalam subur hati
yang sedang bangkit: diperjuangkan sepanjang hari
menegaskan derap lagunya ke ujung-ujung misteri.

Ada laut dan gunung bertemu di situ
di pantai berkarang itu
Ada gemuruh dan sunyi berpadu di situ
di lambai juang itu.
Ada kilat dan guruh berseru di situ
di untai sayang itu.

Demi rindu-Mu, wahai Kekasih
relakan ia bernyanyi mengalir berarti
lewat makna penyair memuisi
abadi.
Dalam laut dalam gunung dalam sunyi kilat gemuruh guruh ini
dalam pantai dalam lambai dalam untai berseru padu begini
wahai Kekasih, demi-Mu, labuhkanlah kami ke pantai abadi
jadikan kami karang rindumu yang berjuang tak henti
melambaikan untaian sejuta sayang di setiap negeri
pada setiap hati yang mencari makna dalam misteri.
Demi-Mu, wahai Kekasih
berikan pada kami
keselamatan yang hakiki
yang inti.

Selamatkanlah kearifan ini!

1976

Sumber: Wajah Kita (1981)

Puisi: Tentang Selamat
Puisi: Tentang Selamat
Karya: Hamid Jabbar

Biodata Hamid Jabbar
  • Hamid Jabbar (nama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar) lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
  • Hamid Jabbar meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.