Puisi: Kau Jiwa yang Lapar (Karya Nanang Suryadi)

Puisi "Kau Jiwa yang Lapar" mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan, perjuangan manusia, dan rasa haus jiwa yang mendalam.
Kau Jiwa yang Lapar

kau jiwa yang lapar dan haus menagih-nagih sekucur darah dari luka luka nganga di langit yang pecah berhamburan dalam dadamu yang rapuh tak henti keluh melempar-lempar aduhnya hingga getarnya sampai mengguncang guncang gegunung lembah bebatu berlesatan ambruk ke dalam gelegak lava yang menguapkan kepedihan dalam jiwamu yang lapar dan haus akan darah hingga wajah wajah masai tak berupa menjadi lukisan abstrak pada pasir pasir pantai dihanyutkan arus gelombang keperihan yang meraja dalam jiwamu yang lapar memagut aksara demikian liar dan nanar menyimpan rindu berdebu di buku-buku yang tak mencatatkan penanggalan di mana bermula segala riwayat derita dan bahagia manusia yang terlontar di rimba pergulatan di jalan jalan penuh dusta dan petaka di mimpi-mimpi buruk tak berujung pangkal carut marut tak habis menelikung menggunting menikam dengan hunusnya yang tajam hingga kau adalah penyandang kutuk yang tak henti-henti menagih dengan cucuran airmata yang menetes di rerumputan padang-padang perburuan dan peperangan di mana dipanaskan segala mesin demi segala yang kau ingin demi tuntas segala nyeri rindu dan rasa lapar yang tak henti-henti menyayat-nyata jiwamu yang terus berteriak-teriak tak henti dilecut-lecut api yang mencambuk-cambuk kepalamu sendiri hingga benak otak berhamburan di medan-medan keberanian dan kebodohan di jalan-jalan penuh lubang nganga di lubang-lubang pemakaman massal dan rumah-rumah sakit jiwa karena engkau demikian lapar dan gigil yang tak henti memanggil dirimu untuk kembali!


Analisis Puisi:
Puisi "Kau Jiwa yang Lapar" karya Nanang Suryadi adalah sebuah karya yang memperlihatkan derita dan kehausan jiwa manusia dalam menghadapi lika-liku kehidupan.

Metafora Darah sebagai Lambang Kehidupan: Darah yang disebutkan dalam puisi ini tidak hanya menjadi lambang luka fisik tetapi juga mencerminkan esensi kehidupan. Puisi membawa pembaca untuk merenungkan betapa berharganya kehidupan dan bagaimana kehausan jiwa mencari makna di dalamnya.

Lukisan Abstrak pada Pasir Pantai: Metafora lukisan abstrak pada pasir pantai menggambarkan ketidakpastian dan kerapuhan hidup. Pasir yang dapat dihanyutkan oleh gelombang mencerminkan betapa mudahnya kehidupan tercerai berai oleh arus takdir.

Arus Gelombang Kepedihan: Arus gelombang yang menguapkan kepedihan di dalam jiwa menciptakan gambaran visual tentang bagaimana perasaan kesakitan dan kehausan jiwa menjalar dan melanda dengan keras. Gelombang itu mencerminkan intensitas emosi yang mengguncang hati.

Riwayat Derita dan Bahagia Manusia: Penggunaan istilah "riwayat derita dan bahagia manusia" menyoroti kompleksitas perjalanan hidup. Puisi membawa pembaca melintasi masa lalu, mengingatkan bahwa setiap individu membawa beban dan kebahagiaannya sendiri.

Pergulatan di Jalan-Jalan Penuh Dusta dan Petaka: Jalan-jalan penuh dusta dan petaka mencerminkan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan ujian. Pergulatan manusia untuk bertahan hidup di tengah arus perjalanan yang penuh rintangan menjadi tema sentral dalam puisi ini.

Penanggalan Hidup: Puisi menyinggung tentang "buku-buku yang tak mencatatkan penanggalan." Ini dapat diartikan sebagai catatan hidup yang tidak terikat oleh waktu, di mana setiap pengalaman, baik buruk maupun baik, membentuk kisah yang tak terhingga.

Perang dan Keberanian: Pergulatan di medan peperangan dan keberanian menjadi gambaran metaforis tentang bagaimana kehidupan manusia seringkali dipenuhi oleh pertarungan, baik internal maupun eksternal.

Puisi "Kau Jiwa yang Lapar" mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan, perjuangan manusia, dan rasa haus jiwa yang mendalam. Dengan penggunaan metafora yang kuat, puisi ini menciptakan gambaran intens tentang keberanian, kehausan, dan kepedihan yang melibatkan setiap jiwa yang berusaha mencari identitas dan arti dalam kehidupan yang kompleks.

Puisi
Puisi: Kau Jiwa yang Lapar
Karya: Nanang Suryadi
© Sepenuhnya. All rights reserved.