Puisi: Mengeluh (Karya Rustam Effendi)

Puisi "Mengeluh" karya Rustam Effendi adalah perpaduan antara ratapan kehidupan yang keras dan harapan akan kemerdekaan yang diidamkan.
Mengeluh (1)


Bukanlah béta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar
bermandi darah, dicucurkan dendam.

Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri 'nanda,
memerah madu menguruskan badan;

Bak mana béta bersuka cita;
ratapan rakyat riuhan gaduh,
membobos masuk menyayu kalbuku.

Bak mana boléh berkata béta?
Suara sebat, sedanan rusuh
menghimpit madah, gubahan cintaku.


Mengeluh (2)


Bilakah bumi bertabur bunga,
disebarkan tangan yang tiada terikat;
dipetik jari yang lemah lembut,
ditanai sayap kemerdékaan rakyat?

Bilakah lawang bersinar Bébas,
ditinggalkan dera yang tiada terkata?
Bilakah susah yang béta benam,
dihembus angin kemerdékaan kita?

Di sanalah baru bermohon béta,
supaya badanku berkubur bunga,
bunga bingkisan, suara syairku.

Di situlah baru bersuka béta,
pebila badanku bercerai nyawa,
sebab menjemput Menikam bangsaku.


Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Mengeluh" karya Rustam Effendi merupakan ungkapan perasaan terhadap realitas kehidupan dan perjuangan menuju kemerdekaan. Melalui dua bagian yang berbeda, penyair mengekspresikan pengalaman, keluh kesah, serta pertanyaan-pertanyaan filosofis yang melibatkan pemikiran tentang kehidupan dan kemerdekaan.

Mengeluh (1): Penyair menggambarkan realitas kehidupan yang keras dan penuh tantangan. "Bukanlah béta berpijak bunga" mengilustrasikan perjalanan hidup yang sulit, tanpa kelembutan dan keindahan. Frasa "memerah madu menguruskan badan" menyiratkan upaya keras dan pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran.

Mengeluh (2): Bagian kedua menciptakan gambaran ideal tentang kehidupan yang diidamkan. "Bilakah bumi bertabur bunga" merangkum harapan akan kehidupan yang sejahtera dan merdeka. Penggunaan metafora "ditanai sayap kemerdékaan rakyat" menyiratkan bahwa kemerdekaan adalah bekal yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang.

Puisi sebagai Ungkapan Perasaan dan Pertanyaan Filosofis: Rustam Effendi menggunakan puisi sebagai sarana untuk mengeluhkan kondisi hidup dan menggambarkan perjuangan mencapai kemerdekaan. Puisi ini tidak hanya mengungkapkan keluh kesah, tetapi juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, seperti "Bak mana boléh berkata béta?" yang menyoroti kendala dan keterbatasan dalam menyuarakan pendapat.

Citra dan Metafora yang Kuat: Penyair menggunakan citra bunga sebagai simbol keindahan dan kemerdekaan yang diharapkan. Namun, dia juga menggambarkan realitas pahit dengan frasa "bermandi darah, dicucurkan dendam," menciptakan gambaran kontras antara harapan dan kenyataan.

Ratapan dan Tanya Hati Menuju Kemerdekaan: Puisi "Mengeluh" bukan sekadar ekspresi keluh kesah, melainkan juga tanya hati yang mencari arti kemerdekaan. Ratapan rakyat dan pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam puisi ini menciptakan lapisan emosi yang dalam, mengajak pembaca untuk merenung tentang makna sejati kehidupan dan kemerdekaan.

Puisi "Mengeluh" karya Rustam Effendi adalah perpaduan antara ratapan kehidupan yang keras dan harapan akan kemerdekaan yang diidamkan. Melalui kata-kata indah dan makna yang mendalam, penyair mengajak pembaca merenung tentang arti hidup, perjuangan, dan makna kemerdekaan yang hakiki.

Rustam Effendi
Puisi: 
Karya: Rustam Effendi

Biodata Roestam Effendi:
  • Rustam Effendi lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat.
  • Rustam Effendi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1979 (pada usia 76) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.