Puisi: Rubayat Mencari Sepatu (Karya Yudhistira A.N.M. Massardi)

Puisi: Rubayat Mencari Sepatu Karya: Yudhistira A.N.M. Massardi
Rubayat Mencari Sepatu

(1)

Kutulis rubayat ini ketika mencari cinta
Dan cinta takut kehilangan cahaya
Dan cahaya tersekap di rumah petir
Dan petir tak mau berbagi sinar

(2)

Jemu dibekap langit gelap
Cahaya menyelinap ke balik tingkap
Mengintip sumbu dan suluh
Terkulai di bumi lepuh

(3)

Siang dan malam mematikan
Di langit, di laut, di tanah
Wabah memangsa gerak dan senyap
Maut menghirup dinding dan bukit

(4)

Di ujung sebuah terowongan
Setitik waktu masuk ke lubang jarum
Mencari benang bersinar
Tapi kunang-kunang terbenam lumpur

(5)

Aku mencari cahaya di cakrawala
Tak satu rubayat bisa kubaca
Kujumpa beberapa kubik indonesia
Terlantar di aljabar Umar Kayam

(6)

Dengan sisa keyakinan di kaki
Kudaki langit hitam dan berkata:
“Demi Tuhan, bukakan borgolmu.
Biarkan petir bertengger di ujung tali sepatuku!”

(7)

Sepatuku masih tersesat di teras rumah Tuhan
Mungkin disangka aku tak akan ke luar lagi
Atau, aku tak akan kembali lagi ke situ
Padahal, sisa yang kuyakini hanya agama

(8)

Agama adalah jalan untuk hidup dan mati
Jika cinta, kubaca semua peta yang tertera
Jika alpa, aku tersesat dalam sepatuku yang belum kembali
Jika kujalani, kupakai sepatuku, dan kucintai semua ciptaan-Nya

(9)

Kini aku 53, dan Siska barusan 40
Kami ingin memudahkan segala urusan
Maka kami lupakan dulu sepatu itu
Cukup talinya untuk menjerat kaki petir

(10)

Tadi sudah dicoba, tapi masih gagal
Maka harapan kupelihara dengan akrilik
Cat putih, kuning dan jingga
Kuoleskan di kanvas, jadilah cahaya di ujung tali sepatu

(11)

Biarkan pemerintah mengerami ayam gabuk
Rakyat bisa hidup dengan ayam kampung
Telurnya pun enak dan banyak khasiat
Didadar, direbus, atau dicampur jamu kuat

(12)

Kita sudah merdeka
Aku dilahirkan sebagai makhluk merdeka
Jangan harap kuserahkan apa pun ke dalam belenggu
Apalagi ke dalam sepatu!

(13)

Sepatuku mungkin dilemparkan dajjal ke afghan dan irak
Lalu menjadi hantu uranium di kamar Ahmadi Nejad
Ah, khayalku berlebihan
Mana bisa sepatu menakutkan Iran!

(14)

Tetapi, di Gedung Perang, mereka bilang: “Just do it!”
Maksudnya, “Jadikan perang sebagai sumber duit!”
Menjadi “Kuasa Kegelapan” di bumi Allah
Memadamkan semua lampu, teplok, dan blencong

(15)

Jiwa manusia kini menjadi kwaci pengisi waktu
Di meja-meja perjamuan kematian
Peperangan hanya kerja membelah semangka
Daging merahnya untuk promotor, biji hitamnya untuk pelayat

(16)

Tak cukup airmata untuk menangisi sepatu
Kehidupan harus berjalan bagi para pencari
Kejayaan di dunia atau kejayaan di akhirat
Tinggal pilih di pertigaan: naik bus way atau panser

(17)

Aku pernah dihentikan Pak Polisi
Di bundaran berpatung pembawa api
“Bapak melanggar peraturan lalulintas,” katanya.
Aku katakan, “Maafkan saya, Pak. Sepatu kita tidak sama.”

(18)

Di hari yang lain aku mewawancarai calon pegawai
Dia bilang, “Mau kerja apa saja, dengan gaji terserah Bapak.”
Aku bilang, “Kalau begitu, kerja di tempat lain saja
Aku tidak perlu karyawan baru untuk pengganti tali sepatu.”

(19)

Dunia kerja adalah dunia dalam perut
Ke atasnya lebih sedikit, ke bawahnya lebih banyak
Sepatu yang dipakai pun jumlahnya lebih sedikit
Dan tali sepatu untuk mengikat banyak kepala

(20)

Kekusutan berawal dari usus dan jari
Dari angka 12, angka 10, madu, dan simpanan
Kata Siska, itulah sebabnya suami sering ketinggalan sepatu
Aku bilang, maka sediakanlah madu: untuk meningkatkan daya ingat.

(21)

Secara kolektif, bangsaku bukanlah spesies bersepatu
Tali sepatu kusut di perut gampang terlupakan
Sehingga, makanan dan minuman salah jurusan
Sehingga, sejarah adalah kotoran dari tali sepatu

(22)

Aku bertanya kepada buku-buku
“Iqra!” jawabnya. “Bacalah!”
Aku membaca buku-buku
“Tulislah!” katanya. “Tulis dengan akal, bukan dengan sepatu!”

(23)

Cangkir kopiku ternyata sebuah sepatu kanan
Yang kiri sudah teraduk bersama kopi di IPDN
Ketika kuaniaya kopiku hingga tewas
Tak tersisa lagi akal sehat - apalagi untuk rakyat

(24)

Sejarah memang bukan deretan akal sehat
Tarikh dan artefak seperti tali sepatu berkalung tengkorak
Masa lalu menjadi senjata yang memakan tuannya
Masa kini dan masa depan pun kehilangan kaum mudanya

(25)

Sebuah generasi telah meninggalkan rak sepatu
Mereka berselancar di internet sambil mengisap jempol
Itu jempol nenek moyang yang tertinggal di mulut goa
Sekolah-sekolah dan universitas memang masih berada di dalam goa

(26)

Aku berdiri di tanah lapang bersama Gundala dan Ki Ageng Selo
Kami menarik tali sepatu yang tersangkut di situs porno
Kami berseru: “Demi usus yang lengket di perut, lepaskan borgolmu!”
Tetapi lidah petir tak mau melepaskan cahaya

(27)

Aku pun malu kepada sepatu
Tak mampu temukan jejak yang raib
Di jalan cinta dan cahaya
Yang tercatat di buku waktu

(28)

Rubayatku kini semakin abu-abu
Kaki dan tangan keriput oleh ludah dan peluh
Agamaku masih beku seperti sepatu dalam batu
Padahal, sudah terkumur lumpur dan kubur!

(29)

Ya Allah, maafkan aku
Tali cinta-Mu belum kuurai di kalbu
Aku masih terus mencari sepatu
Yang hilang di teras rumah-Mu!

Jakarta, April 2007

Yudhistira ANM Massardi
Puisi: Rubayat Mencari Sepatu
Karya: Yudhistira A.N.M. Massardi

Biodata Yudhistira A.N.M. Massardi
  • Yudhistira A.N.M. Massardi (nama lengkap Yudhistira Andi Noegraha Moelyana Massardi) lahir pada tanggal 28 Februari 1954 di Karanganyar, Subang, Jawa Barat.
  • Yudhistira A.N.M. Massardi dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1980-1990-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.