Puisi: Ayahanda (Karya Bahrum Rangkuti)

Puisi "Ayahanda" adalah ungkapan rasa cinta, hormat, dan kekaguman penulis terhadap ayahnya. Dengan memadukan elemen spiritual, kenangan masa lalu, ..
Ayahanda

Pada hari-hari ini terasa ayah hadir lagi
Kulihat engkau seperempat abad lalu
dalam engah terakhir memetik janji
dari Apul, agar Kabul idamanmu

Ia dan aku bertaut tangan
dunia dan akhirat tetap sejalan
Kini apa yang engkau kehendaki
mulai membuah. Gunung ini betapa pun tinggi

Kami daki. Kami garap tanah di pedusunan
dan ajak mereka yang membuntu ke jalan Ilahi
Kami belajar mengabdi dan menumbuh iman

Tuhan, terimalah apa yang kami buat ini
Bersama kelemahan dan kekurangan kami
Dan naungilah ayahanda di bawah sayap-Mu!

4-12-1970

Sumber: Horison (Desember, 1971)

Analisis Puisi:
Puisi "Ayahanda" karya Bahrum Rangkuti adalah sebuah penghormatan yang mendalam terhadap sosok ayah. Puisi ini mengeksplorasi perasaan penulis terhadap kehadiran ayahnya, serta membangun citra ayah sebagai sosok yang memiliki pengaruh positif dan kuat dalam hidupnya.

Kehadiran Ayah: Puisi ini dimulai dengan pengakuan bahwa "pada hari-hari ini terasa ayah hadir lagi." Penekanan pada kehadiran ayah menciptakan gambaran bahwa meskipun fisiknya mungkin tidak ada, warisan, nilai, dan ajaran yang ditinggalkan ayah tetap hadir dalam kehidupan penulis.

Waktu dan Jejak Kenangan: Dengan menyebut "seperempat abad lalu," puisi ini membawa pembaca ke masa lalu, menyoroti jejak-jejak kenangan dan momen terakhir bersama ayah. Waktu menjadi dimensi penting yang memperdalam kedalaman pengalaman emosional.

Pemenuhan Janji: Ayah dipandang sebagai sosok yang memetik janji dari Apul (sepertinya merujuk pada nenek moyang atau leluhur). Ada elemen spiritual dan kepercayaan pada janji yang kemudian berkembang dan memberikan hasil atau "mulai membuah" dalam bentuk yang diharapkan oleh ayah.

Pertalian antara Dunia dan Akhirat: Dengan menciptakan gambaran bahwa "ia dan aku bertaut tangan," puisi ini menggambarkan hubungan yang erat antara dunia fisik dan kehidupan spiritual. Ayah dipandang sebagai sosok yang tetap terhubung dengan penulis melalui nilai-nilai rohaniah.

Pendakian dan Perjuangan Bersama: Metafora gunung yang tinggi digunakan untuk menggambarkan perjuangan hidup. "Gunung ini betapa pun tinggi / Kami daki" mencerminkan semangat dan tekad untuk menghadapi tantangan hidup. Pendakian gunung juga bisa diartikan sebagai perjalanan spiritual dan pencarian makna hidup.

Mengabdi dan Menumbuhkan Iman: Ayah dipuji karena usahanya dalam mengajak orang-orang di sekitarnya untuk mengabdi dan menumbuhkan iman. Ini menciptakan gambaran ayah sebagai figur yang tidak hanya peduli terhadap keluarganya sendiri tetapi juga terhadap komunitas dan nilai-nilai spiritual.

Doa dan Kepenuhan: Puisi ini diakhiri dengan doa, di mana penulis memohon agar Tuhan menerima apa yang telah mereka kerjakan bersama dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Doa ini mencerminkan rasa tunduk dan kesadaran akan keterbatasan manusia.

Puisi "Ayahanda" adalah ungkapan rasa cinta, hormat, dan kekaguman penulis terhadap ayahnya. Dengan memadukan elemen spiritual, kenangan masa lalu, dan harapan akan masa depan, puisi ini menciptakan gambaran ayah sebagai sosok yang mewariskan nilai-nilai kebijaksanaan, kejujuran, dan keteguhan dalam menghadapi kehidupan.

Bahrum Rangkuti
Puisi: Ayahanda
Karya: Bahrum Rangkuti

Biodata Bahrum Rangkuti:
  • Bahrum Rangkuti lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Deli Serdang, Sumatra Utara.
  • Bahrum Rangkuti meninggal dunia pada tanggal 13 Agustus 1977 di Jakarta.
  • Bahrum Rangkuti adalah salah satu Sastrawan Angkatan '45.
© Sepenuhnya. All rights reserved.