Puisi: Demonstran (Karya Abdul Wahid Situmeang)

Puisi "Demonstran" karya Abdul Wahid Situmeang mempersembahkan suara kebangkitan dan tuntutan para demonstran yang mengecam kebijakan pemimpin.
Demonstran


Melengking ringkik kuda lepas kendali
suara yang telah lama hilang
suara saksi yang tak diperlukan kesaksiannya
suara yang dirindukan anak negeri
menghingarkan ibukota
membentur tembok istana

Mereka berangkat ke istana
tanpa upeti
karena bukan mau menghadap raja
mereka berbondong ke istana
barisan pemuda yang habis sabar
menunggu janji

Bukan barisan kehormatan dalam upacara resmi
Barisan kebangkitan menjalarkan api
menuntut janji kepada pemimpin

Siapa orang yang bisa tahan
dibanting gelombang datang beruntun
musnahlah engkau pemimpin yang linglung



Sumber: Angkatan 66 (1968)

Analisis Puisi:
Puisi "Demonstran" karya Abdul Wahid Situmeang mempersembahkan suara kebangkitan dan tuntutan para demonstran yang mengecam kebijakan pemimpin. Melalui metafora kuda yang melengking dan ringkik, penyair menciptakan gambaran perlawanan dan penolakan terhadap otoritas yang dianggap tidak memenuhi janji-janji kepada rakyat.

Metafora Kuda, Suara yang Terlupakan dan Diperlukan: Penyair memulai puisi dengan gambaran "melengking ringkik kuda lepas kendali," menciptakan metafora suara yang telah lama hilang dan terlupakan. Kuda sebagai simbol kekuatan dan kebebasan menyampaikan pentingnya suara tersebut, yang kini kembali terdengar.

Demonstrasi dan Tuntutan, Kebangkitan Para Pemuda: Demonstran membentuk barisan tanpa upeti, menuju istana untuk menuntut janji pemimpin. Barisan pemuda yang telah kehilangan kesabaran mewakili kebangkitan, dan tuntutan mereka bersifat langsung dan tanpa kompromi.

Menjalarkan Api, Simbol Kebangkitan dan Perubahan: Barisan pemuda tidak hanya sebuah upacara resmi, melainkan simbol kebangkitan yang menjalarkan api perubahan. Mereka menuntut janji-janji yang telah diucapkan dan diabaikan oleh pemimpin, menciptakan gambaran perlawanan yang membara.

Tantangan Gelombang Datang Beruntun, Perlawanan yang Menghancurkan: Ketika penyair menyatakan, "siapa orang yang bisa tahan / dibanting gelombang datang beruntun," menjadi gambaran tantangan dan perlawanan yang menghancurkan. Gelombang demonstran dan protes mengancam untuk menggulingkan pemimpin yang dianggap "linglung."

Kritik Terhadap Pemimpin, Musnahnya Pemimpin yang Linglung: Puisi ini mengakhiri dengan pernyataan tegas, "musnahlah engkau pemimpin yang linglung," menegaskan kritik terhadap pemimpin yang dianggap tidak mampu memimpin dengan baik dan tidak memenuhi janji-janji kepada rakyat.

Puisi "Demonstran" menciptakan gambaran kebangkitan para pemuda yang menolak ketidakadilan dan menuntut kepemimpinan yang bertanggung jawab. Puisi ini menjadi teriakan kebangkitan dan penolakan terhadap otoritas yang dianggap tidak mengayomi rakyatnya.

Puisi Abdul Wahid Situmeang
Puisi: Demonstran
Karya: Abdul Wahid Situmeang

Biodata Abdul Wahid Situmeang:
  • Abdul Wahid Situmeang lahir pada tanggal 22 Juni 1936 di Sibolga, Tapanuli Selatan.
  • Abdul Wahid Situmeang adalah salah satu sastrawan angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.