Puisi: Imam Besar (Karya Saini KM)

Puisi "Imam Besar" mengeksplorasi ketegangan antara klaim spiritualitas dan tindakan kejam yang dilakukan oleh figur agama. Dengan menghadirkan ....
Imam Besar


Di rimba rambu-rambu, dalam belantara tabu
Kautempatkan dan kaujaga Dia dengan cemburu
Para peziarah gemetar di ujung tatap elangmu;
Tahu, mereka Cuma cacing bagimu.

Atas nama-Nya kau bakar kota-kota, kau cincang bayi;
Dan dengan tangan merah kausujud pada-Nya,
Berkata: “Tuhan, kami hancurleburkan musuh-Mu”
Sementara Dia menangis dengan janda dan piatu.

Di rimba rambu-rambu, dalam belantara tabu
Kauasingkan dan kautabiri Dia dari manusia
Yang dicintai-Nya. Ia pun lolos dan duduk di tanah;
Tersenyum mendengar kata hujatan yang tulus.


1989

Sumber: Nyanyian Tanah Air (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Imam Besar" karya Saini KM menciptakan gambaran yang tajam dan kontroversial tentang figur agama yang memiliki kekuasaan besar. Puisi ini merinci ambivalensi dan kontradiksi dalam perilaku "Imam Besar" yang mengaku mempertahankan ketuhanan, tetapi sekaligus melakukan tindakan kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Simbolisme Rimba Rambu-Rambu dan Belantara Tabu: Penyair menggunakan simbolisme "rimba rambu-rambu" dan "belantara tabu" untuk menggambarkan tempat yang dijaga dan diasingkan, menciptakan kesan keagungan dan ketakutan sekaligus. Ini menggambarkan posisi dan kedudukan yang tinggi dari "Imam Besar" dalam masyarakat dan agama.

Cemburu Terhadap Tuhan: Di bait pertama, penyair menyebutkan bahwa "Dia" (Tuhan) dijaga dengan cemburu. Ini menciptakan gambaran tentang pengawasan yang sangat ketat terhadap kepercayaan dan ibadah oleh "Imam Besar." Cemburu di sini mungkin mencerminkan keserakahan dan ambisi yang berlebihan.

Peziarah Sebagai Cacing: Puisi menciptakan gambaran bahwa para peziarah dianggap "cacing" oleh "Imam Besar." Ini menciptakan kesan superioritas dan merendahkan terhadap mereka yang mengikuti keyakinan agama dengan tulus. Metafora cacing menyoroti pandangan merendahkan dan menghinakan terhadap para peziarah.

Pemakaman Nilai-Nilai Kemanusiaan: Puisi menggambarkan tindakan brutal "Imam Besar" seperti membakar kota dan mencincang bayi atas nama Tuhan. Ini menciptakan kontras yang kuat antara tindakan kejam yang dilakukan dan klaim keagungan dan ketuhanan. Pemakaman nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas menjadi jelas dalam baris ini.

Sujud pada Tuhan Sementara Menangis dengan Janda dan Piatu: Gambaran sujud pada Tuhan dengan tangan yang merah menciptakan ironi dan paradoks. Meskipun "Imam Besar" bersujud pada Tuhan, ia sekaligus menyebabkan penderitaan pada janda dan piatu. Ini menyoroti ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam praktek agamawi yang dilakukan oleh figur keagamaan.

Tersenyum Mendengar Kata Hujatan: Baris terakhir menciptakan gambaran tersenyum "Imam Besar" mendengar kata hujatan yang tulus. Ini menunjukkan bahwa "Imam Besar" mungkin menikmati penghujatan atau kritik terhadapnya karena merasa dirinya di atas segalanya.

Gaya Bahasa dan Diksi: Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini memiliki kekuatan dalam menciptakan gambaran yang tajam dan memprovokasi pemikiran pembaca. Penggunaan kata-kata seperti "gemetar," "cacing," dan "tersenyum mendengar kata hujatan" menciptakan gambaran yang kuat dan menantang.

Puisi "Imam Besar" mengeksplorasi ketegangan antara klaim spiritualitas dan tindakan kejam yang dilakukan oleh figur agama. Dengan menghadirkan gambaran yang kontroversial, Saini KM mengajak pembaca untuk merenungkan etika dan moralitas dalam praktik agama dan kekuasaan keagamaan.

Puisi Saini KM
Puisi: Imam Besar
Karya: Saini KM

Biodata Saini KM:
  • Nama lengkap Saini KM adalah Saini Karnamisastra.
  • Saini KM lahir pada tanggal 16 Juni 1938 di Kampung Gending, Desa Kota Kulon, Sumedang, Jawa Barat.
  • Saini KM dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1970-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.