Puisi: Kwatrin dari Desa (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kwatrin dari Desa" menciptakan gambaran yang indah tentang kehidupan di desa dengan menggabungkan elemen-elemen alam, simbolisme, dan ...
Kwatrin dari Desa


ketika berguguran bunga-bunga randu alas tua
di tepi sawah mengering, kau pun menerka
para petani itu mencatat musim pancaroba
dengan gairah hidup yang terus menyala…


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Kwatrin dari Desa" karya Gunoto Saparie memaparkan gambaran tentang kehidupan di desa melalui penggunaan imaji alam dan aktivitas petani.

Imaji Alam: Puisi ini dibuka dengan gambaran visual yang kaya tentang bunga-bunga randu yang berguguran di alas tua. Imaji ini menggambarkan musim pancaroba, di mana bunga-bunga ini turun dari pohon randu tua dan jatuh di tepi sawah yang mengering. Pemilihan kata-kata seperti "berguguran," "alas tua," dan "sawah mengering" memberikan kesan kehancuran dan perubahan musim.

Simbolisme Bunga-Bunga Randu: Bunga-bunga randu dapat diartikan sebagai simbol kehidupan dan siklus alam yang terus berlanjut. Mereka melambangkan keindahan, tetapi juga kerapuhan dan keterbatasan. Proses bergugurannya bunga-bunga randu menciptakan gambaran tentang siklus kehidupan dan kematian.

Aktivitas Petani: Dalam puisi ini, petani di desa menjadi pemeran utama. Mereka mencatat musim pancaroba dengan "gairah hidup yang terus menyala." Ini menggambarkan semangat dan dedikasi petani yang tak kenal lelah meskipun dihadapkan pada perubahan musim. Aktivitas mencatat musim juga menunjukkan rasa keterikatan mereka dengan alam dan pertanian.

Kwatrin Sebagai Tokoh: Judul puisi menyebutkan "Kwatrin dari Desa," namun puisi itu sendiri hanya memberikan gambaran umum tentang petani dan aktivitas mereka tanpa detail lebih lanjut tentang Kwatrin. Penggunaan namanya mungkin dimaksudkan untuk memberikan sentuhan personal dan memperkaya citra petani sebagai individu.

Keseimbangan Alam dan Manusia: Puisi ini menciptakan kesan harmoni antara alam dan manusia. Meskipun musim pancaroba menciptakan perubahan dalam alam, petani tetap menjalankan aktivitas mereka dengan semangat dan kehidupan yang terus berlanjut. Ini mencerminkan keseimbangan yang ditemukan di desa antara manusia dan lingkungan sekitarnya.

Keterkaitan dengan Tradisi dan Budaya Desa: Aktivitas mencatat musim merupakan tradisi yang mungkin telah berlangsung turun-temurun di desa. Puisi ini menyoroti keterkaitan antara petani, alam, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Puisi "Kwatrin dari Desa" menciptakan gambaran yang indah tentang kehidupan di desa dengan menggabungkan elemen-elemen alam, simbolisme, dan aktivitas manusia. Dengan memadukan deskripsi alam dan kegiatan petani, Gunoto Saparie berhasil mengekspresikan kehidupan yang seimbang dan kaya akan makna di desa. Puisi ini memberikan penghormatan terhadap tradisi dan kearifan lokal, serta menggambarkan keterkaitan erat antara manusia dan alam.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Kwatrin dari Desa
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019).

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi dan cerita pendeknya termuat dalam antologi bersama para penyair lain. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Ia pernah mencoba peruntungan menjadi calon anggota legislatif DPRD Jawa Tengah melalui Partai Golkar dan Partai Nasdem, tetapi gagal. Bahkan ia sempat menjadi calon Wakil Bupati Kendal dari Partai Golkar, namun gagal pula.
© Sepenuhnya. All rights reserved.