Puisi: Tanjung Emas (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Tanjung Emas" karya Gunoto Saparie merenungkan tentang nostalgia, kesendirian, dan pertemuan dengan masa lalu.
Tanjung Emas



di pelabuhan tanjung emas, suatu senja
engkaukah itu yang menarik jangkar
sebelum kapal bertolak ke tenggara
sebelum azan magrib mengalun samar

di bandar ini aku merasa sangat sendiri
suara ombak membuat lengang hati
ada beberapa bintang sayup bercahaya
sebelum gelap benar-benar sempurna

aku ingat benar masa kanakku di sini
menyeret langkahku dan lupa kembali
aku ingat benar saat membayangkan diri
jatuh ke dalam palung laut nan sunyi


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Tanjung Emas" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang merenungkan tentang nostalgia, kesendirian, dan pertemuan dengan masa lalu. Di dalam puisi ini, penyair menggambarkan pengalaman pribadi yang penuh dengan makna dan emosi.

Tema Nostalgia: Tema utama dalam puisi ini adalah nostalgia. Penyair menciptakan gambaran pelabuhan Tanjung Emas yang menghadirkan kenangan masa kanak-kanak. Pelabuhan ini menjadi lambang masa lalu yang penuh kenangan, dan kehadiran penyair di sana memicu pengalaman nostalgia yang mendalam.

Kesendirian dan Lengang Hati: Penyair menggambarkan kesendirian dan perasaan lengang hati di pelabuhan Tanjung Emas. Suara ombak yang membentur pantai menciptakan atmosfer kesendirian, dan ini mencerminkan keadaan hati penyair yang merasa sangat sendirian di tempat itu.

Pertemuan dengan Masa Lalu: Ketika penyair berada di pelabuhan Tanjung Emas, ia merasa seperti kembali ke masa kanak-kanaknya. Ia merenungkan kenangan-kenangan masa lalu yang mungkin telah lama terlupakan. Pelabuhan ini menjadi titik pertemuan dengan kenangan masa lalu yang indah.

Gambaran Alam yang Kuat: Penyair menggunakan gambaran alam yang kuat, seperti ombak dan bintang, untuk menciptakan atmosfer dalam puisi ini. Ombak menciptakan kesan kedalaman emosi, sementara bintang-bintang yang sayup menciptakan kesan ketenangan dan nostalgia.

Perasaan Anak-anak di Tengah Ketenangan Laut: Penyair juga menggambarkan perasaannya saat masih anak-anak di pelabuhan tersebut. Ketenangan laut dan suasana pelabuhan menjadi latar belakang bagi kenangan-kenangan tersebut.

Kesunyian dan Kenangan: Puisi ini menciptakan suasana kesunyian yang kontras dengan kenangan yang hidup dan bergejolak dalam pikiran penyair. Hal ini menggambarkan betapa kenangan masa lalu memiliki kekuatan untuk menerangi pikiran dalam situasi yang sunyi dan hening.

Gambaran yang Simbolis: Meskipun puisi ini memiliki gambaran yang konkret, ia juga memiliki makna yang lebih dalam dan simbolis. Pelabuhan Tanjung Emas dapat diartikan sebagai tempat yang merepresentasikan masa lalu dan kenangan yang datang menghampiri kita ketika kita berada di tempat-tempat yang berarti dalam hidup kita.

Puisi "Tanjung Emas" adalah karya yang merenungkan tentang nostalgia, kesendirian, dan pertemuan dengan masa lalu. Penyair berhasil menciptakan atmosfer yang kaya dan mendalam, yang mengundang pembaca untuk merenungkan pengalaman dan kenangan pribadi mereka sendiri dalam konteks yang serupa.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Tanjung Emas
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019).

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi dan cerita pendeknya termuat dalam antologi bersama para penyair lain. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Bersama keluarga tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang 50181. Bisa dihubungi melalui email gunotosaparie@ymail.com
© Sepenuhnya. All rights reserved.