Puisi: Di Rumah Nenek (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Di Rumah Nenek" karya Gunoto Saparie merenungkan tentang kehangatan dan kedamaian yang terdapat dalam rumah nenek.
Di Rumah Nenek


ketika sungkem mohon pangestu
seusai takbir lebaran menggema
hati damai saat nenek mengusap kepalaku
“darahmu tumpah di sini,” ia pun berkata

seraya mengunyah sirih pekinangan
nenek pun menggumamkan doa takjelas
enggan rasanya aku pulang ke perantauan
“tanah airmu di sini,” ia pun berujar tegas

ingin benar aku tinggal dan krasan
di rumah berdinding bambu tua
lasak dari galengan ke galengan
o, menggelosor menembang dandanggula


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Di Rumah Nenek" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang merenungkan rasa rindu akan tanah air dan akar budaya. Puisi ini menciptakan gambaran tentang kehangatan dan kedamaian yang terdapat dalam rumah nenek.

Sentimen Nostalgia: Puisi ini diwarnai oleh perasaan nostalgia yang kuat terhadap rumah nenek dan tanah air. Penyair merindukan rumah yang merupakan tempat kelahirannya, serta ikatan budaya yang kental.

Tradisi Lebaran: Puisi ini memulai dengan penggambaran momen setelah takbir lebaran, yang merupakan salah satu momen paling penting dalam budaya Islam. Ini menciptakan suasana damai dan kebersamaan dalam puisi, mengingatkan kita pada momen-momen bersatu dengan keluarga.

Hubungan dengan Nenek: Hubungan akrab antara penyair dan neneknya adalah elemen penting dalam puisi ini. Nenek dianggap sebagai penjaga budaya dan tradisi yang diwariskan pada generasi muda. Ini menciptakan perasaan ketentraman dan kebijaksanaan yang terkait dengan hubungan antara nenek dan cucunya.

Makna Tanah Air dan Budaya: Puisi ini mencerminkan penghargaan yang mendalam terhadap tanah air dan budaya. Kata-kata "darahmu tumpah di sini" dan "tanah airmu di sini" menggambarkan betapa pentingnya akar budaya dan tempat kelahiran.

Kekuatan Tanah Air dan Akar Budaya: Penyair merasa enggan untuk kembali ke perantauan, menunjukkan kekuatan dan daya tarik yang dimiliki tanah air dan budaya. Ini adalah penegasan tentang bagaimana akar budaya mempengaruhi dan mengikat individu dengan kuat.

Keinginan untuk Tetap Tinggal: Penyair menyatakan keinginan yang kuat untuk tinggal di rumah nenek. Puisi ini menciptakan gambaran tentang kesejukan dan kenangan indah yang terdapat di rumah bambu tua nenek, yang mengekspresikan keinginan untuk berdiam dan merayakan budaya dan tradisi.

Puisi "Di Rumah Nenek" karya Gunoto Saparie adalah sebuah ungkapan perasaan nostalgia dan cinta terhadap tanah air dan budaya. Ini menciptakan gambaran tentang kedamaian, ketentraman, dan kekayaan yang ditemukan dalam rumah nenek. Puisi ini menekankan kekuatan akar budaya dan keinginan untuk menjaga dan merayakan warisan budaya yang kaya.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Di Rumah Nenek
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019).

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Beliau bisa dihubungi melalui email gunotosaparie@ymail.com.
© Sepenuhnya. All rights reserved.