Puisi: Kereta Api Terakhir (Karya Mochtar Pabottingi)

Puisi || Kereta Api Terakhir || Karya Mochtar Pabottingi ||
Kereta Api Terakhir


Tak dihitung lagi matahari
Ketika kereta itu bergerak. Ke dunia yang lain
Cakrawala kehilangan ufuk. Orang-orang terpaku
    di tempatnya
Belum pernah seribu musim turun begitu
    dalam polka
    dalam Pakanjara
    dalam tamburnya sendiri-sendiri

Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi
Semua jadi teraba. Telanjang
Segala jadi bersuara. Bangkit
Menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita
Konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita
Dalam intensitas yang semakin tinggi. Dalam otomasi
    yang sempurna

Maka hening pun tercabik-cabik
Maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih


Jakarta, 1986

Sumber: Dalam Rimba Bayang-Bayang (2003)

Analisis Puisi:
Puisi "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Pabottingi memiliki beberapa hal menarik. Berikut adalah beberapa poin menarik yang dapat ditemukan dalam puisi ini:
  1. Simbolisme kereta api: Kereta api dalam puisi ini digunakan sebagai simbol perjalanan atau transisi menuju dunia yang berbeda. Kereta api menjadi metafora perubahan atau pergeseran yang signifikan dalam kehidupan.
  2. Kejutan dan ketidakpastian: Puisi ini menciptakan suasana yang penuh dengan kejutan dan ketidakpastian. Ketika kereta bergerak, segalanya berubah dengan cepat dan intensitas yang tinggi. Hal ini dapat mencerminkan perasaan takut atau kecemasan akan perubahan yang tiba-tiba dan tidak terduga.
  3. Kehilangan arah dan identitas: Pabottingi menggambarkan bahwa pergerakan kereta mengakibatkan kehilangan arah atau tujuan. Cakrawala kehilangan ufuk, dan orang-orang terpaku di tempatnya. Hal ini dapat menggambarkan perasaan kebingungan atau kehilangan identitas di tengah perubahan yang drastis.
  4. Penggusuran dan transformasi: Puisi ini menggambarkan bahwa pergerakan kereta api membawa penggusuran terhadap jasad, pikiran, konsep, dan mimpi kita. Hal ini dapat menggambarkan pembebasan dari keterikatan dan transformasi yang menyertainya.
  5. Intensitas dan otomasi: Pabottingi menggunakan kata-kata seperti "intensitas yang semakin tinggi" dan "otomasi yang sempurna" untuk menggambarkan pengalaman yang kuat dan terstruktur dengan sempurna. Hal ini menciptakan suasana yang intens dan membawa pembaca ke dalam suasana yang dijelaskan dalam puisi.
Puisi "Kereta Api Terakhir" menggambarkan perubahan dan transformasi yang tak terhindarkan dalam kehidupan. Pabottingi menggunakan bahasa yang kuat dan menggugah untuk menggambarkan perasaan yang muncul dalam situasi ini, termasuk kehilangan arah, ketidakpastian, dan penggusuran.

Mochtar Pabottingi
Puisi: Kereta Api Terakhir
Karya: Mochtar Pabottingi

Biodata Mochtar Pabottingi:
  • Mochtar Pabottingi lahir pada tanggal 17 Juli 1945 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.