Puisi: Nama-Nama (Karya Kuntowijoyo)

Puisi "Nama-Nama" mengajak pembaca untuk merenungkan tentang konsep identitas, warisan budaya, dan perubahan zaman yang terjadi dalam hubungan ...
Nama-Nama

Nenek moyang mencipta nama-nama
Mereka tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki
Seolah sempurna isi kamus
Ketika hari mendung dan engkau perlu mantel
Tidak lagi kautemukan di halamannya
Berceceran. Hujan bahkan melepas sampul
Sesudah leluhur dikuburkan
Alangkah mudahnya mereka larut
Sebagai campuran kimia yang belum jadi
Terserap habis ke tanah.

Karena hari selalu punya matahari
Nama-nama terpanggil kembali
Dengan malu mereka datang
Telanjang sampai ke tulang
Tiba di meja mencatatkan nomor-nomor kartu
Menandatangani perjanjian baru.

Sumber: Isyarat (1976)

Analisis Puisi:

Puisi "Nama-Nama" karya Kuntowijoyo menyajikan refleksi mendalam tentang konsep nama dan hubungannya dengan identitas, warisan budaya, serta perubahan zaman.

Nama sebagai Warisan Budaya: Puisi ini menggambarkan nama-nama sebagai warisan dari nenek moyang, yang diciptakan tanpa catatan kaki atau penjelasan yang jelas. Nama-nama ini diserap oleh kamus budaya dan menjadi bagian dari identitas kolektif suatu masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan dengan nama-nama tersebut menjadi kabur dan terputus.

Perubahan Zaman dan Identitas: Dalam suasana hari mendung, metafora mantel yang hilang mencerminkan kehilangan dan kebingungan akan identitas yang terjadi ketika orang tidak lagi dapat mengidentifikasi diri mereka dalam konteks nama-nama nenek moyang mereka. Hujan yang melepas sampul menggambarkan proses penghapusan dan perubahan yang terjadi ketika generasi baru menggantikan yang lama.

Rekonsiliasi dengan Nama-Nama: Meskipun terjadi perubahan dan kehilangan, nama-nama tersebut kembali terpanggil saat matahari bersinar. Namun, saat mereka kembali, mereka merasa malu dan telanjang, menunjukkan kerentanan dan kehormatan yang terkait dengan pengalaman pengingatan kembali akan identitas yang terkait dengan nama-nama tersebut.

Penandatanganan Perjanjian Baru: Pada akhir puisi, ada upaya untuk merestorasi dan menandatangani kembali perjanjian dengan nama-nama itu. Ini mewakili upaya untuk memahami kembali dan menghargai warisan budaya serta identitas yang terkandung dalam nama-nama tersebut, meskipun dalam konteks zaman yang berbeda.

Secara keseluruhan, puisi "Nama-Nama" mengajak pembaca untuk merenungkan tentang konsep identitas, warisan budaya, dan perubahan zaman yang terjadi dalam hubungan manusia dengan nama-nama dan identitas mereka. Ini adalah sebuah refleksi yang dalam tentang bagaimana kita mengenali dan menghargai akar budaya kita di tengah arus perubahan zaman.

Puisi: Nama-Nama
Puisi: Nama-Nama
Karya: Kuntowijoyo

Catatan:
  • Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A.
  • Kuntowijoyo lahir pada tanggal 18 September 1943 di Sanden, Bantul, Yogyakarta.
  • Kuntowijoyo meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 (pada usia 61 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.