Mata Air Wiratsana
Sampailah kita di gerbang candi, sebelum waktu matiPada halaman batu merah kusam darah ini: Setanggi di lingkar piring, sesaji telah mengering Doa kita diraih tangan dewata dari celah awanBacalah puisi di sini dengan permainan bunyi, sepanjang pagiSuaramu akan tergenang bagai sebuah upacara kuningan
Kepada siapa aku bertanya ketika jawaban tak tersedia?
Lupakan amsal yang tersisa di museum, ketika kepala sebuah arca terpenggal dan tak mau lagi berceritaLupakan seluruh muasal, karena darinya kita hanya mampu menyesal. Bukankah hidup selalu mendua?Di kiri dan kanan terdapat ribuan pilihan Kegelapan yang memiliki jalan atau terangyang senantiasa menipu langkahmu
Membiarkan air membuncah tanpa ingin menadah, semata doa. Sebab kenangan tak mungkin ditulis ulang
Wahan sahaja yang mengendap pada dasar cangkir kopi semalam, melahirkan banyak tera dan bayangDi dinding-dinding perjalanan, di jejak-jejak pengembaraanSeturut usia mencapai ambang petang sebagaimana yang dituturkan berkali kepada penghuni surga
Mengapa harus mencari ritus bila ingin jadi manusia kudus?Relakan nujuman masa lalu menunaikan pesan: Air terus mengalir dari mata yang tak lelah memecah rahasia
Bandung, 2018
Puisi: Mata Air Wiratsana
Karya: Kurnia Effendi
Biodata Kurnia Effendi:
- Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Oktober 1960.