Menisik Sajak Pusaka
Gerimis mempercepat kelamDan di ambang malam aku mengakhiri ziarahKetika seluruh sajakmu jadi merah, merasuk dalam darah
Di perasaan penghabisan segala melajuTerus, terus, tak lagi mau menungguCahaya dan kurun waktu bersatu di depan pintu
Aku mengembara di negeri asingMencari tanda, mencari makna, isyarat benda-bendaMungkin tak kan kembali jika itu berarti mati
Dalam sunyi malam ganggang menariDitingkah musik gemuruh hatiAku rindu keadaan sendiri ketika semua tampak sejati
Aku tidak tahu apa nasib waktuSesuatu yang Mahatahu membikin hijau atau unguDua puluh tujuh tahunku dirundung kelu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d), sampai juga deru dinginAku berkemas dengan cemas, berpisah dengan puisiJiwa yang selalu menemani
Rumahku dari unggun timbun sajakBersusun tinggi antara niat dan langkah pastiMenyentuh langit dan kibaran doa
Aku sekarang api, aku sekarang lautMembakar perjuangan, menggulung beribu lawanTak sudi menyerah untuk kalah
Kau depanku bertudung sutra senjaTak mungkin kabut menyembunyikan parasmuMaut yang membiru
Hidup hanya menunda kekalahanUntuk diulur dari tahun ke tahunMmendam cinta di lubuk terdalam
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang terngangaMungkin titian kata-kataMenyeberangkan kita saling mendamba
Berjagalah terus di garis batas antara pernyataan dan impianSebab tak ada hidup tanpa kekuatan jiwaUntuk memperabukan seluruh kehendak
Jakarta, 2016
Sumber: Hujan, Kopi, dan Ciuman (2017)
Catatan:Pada puisi “Menisik Sajak Pusaka”, setiap baris pertama yang dicetak miring diambil dari larik puisi Chairil Anwar yang berbeda-beda (dari 12 puisi).
Puisi: Menisik Sajak Pusaka
Karya: Kurnia Effendi
Biodata Kurnia Effendi:
- Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Oktober 1960.