Puisi: Bagai Bermain Biduk (Karya Rayani Sriwidodo)

Puisi "Bagai Bermain Biduk" karya Rayani Sriwidodo menghadirkan perjalanan hidup manusia sebagai biduk yang dimainkan oleh elemen-elemen alam.
Bagai Bermain Biduk


Bagai bermain biduk
angin memberinya kelincahan
ombak meminta darinya perhatian
bintang menguakkan baginya kegelapan
karang mengajarkan untuknya keseimbangan
daratan menjanjikan terpetiknya pengalaman
namun
biduk masuk pusaran
menggelepar
oleh ombak
oleh cemas
agaknya muatan bergeser dari tempat yang pantas
atau melampaui takaran dari persyaratan alur

'Aku berat melepas mendiang'
bah, itu paradok yang hidup atas bayangan
sementara menggenggam saputangan
penghapus airmata kabung
simbol ungkapan arif:
'Cuma cacing tanah yang punya banyak waktu
untuk orang-orang yang sudah mati'

Demikianlah
kilat tikaman lingga di malam peluh
erang maut disusul sekian tubuh
terperosok ke dunia di sekian bilik bersalin
daratan lepas
tepi berpaling

Karet, 1969

Sumber: Selendang Pelangi (2006)

Analisis Puisi:
Puisi "Bagai Bermain Biduk" karya Rayani Sriwidodo menghadirkan gambaran tentang kehidupan yang dipenuhi dengan permainan, tantangan, dan paradoks. Puisi ini membahas elemen-elemen alam dan kehidupan manusia, menciptakan metafora yang mendalam.

Metafora Biduk dan Alam: Puisi ini menggunakan metafora biduk sebagai simbol perjalanan hidup. Biduk yang dimainkan oleh angin, ombak, bintang, karang, dan daratan mewakili interaksi manusia dengan alam. Setiap elemen alam memberikan makna dan pengajaran yang berbeda kepada biduk, menciptakan pengalaman yang kaya dan beragam.

Interaksi Biduk dengan Alam: Angin memberikan "kelincahan," ombak meminta "perhatian," bintang menguakkan "kegelapan," karang mengajarkan "keseimbangan," dan daratan menjanjikan "terpetiknya pengalaman." Setiap elemen alam memberikan karakteristik unik kepada biduk, menciptakan narasi yang beraneka ragam tentang bagaimana kehidupan manusia berinteraksi dengan lingkungannya.

Paradoks dan Konflik: Pernyataan "namun, biduk masuk pusaran" membawa pembaca ke titik konflik dalam perjalanan biduk. Pusaran, ombak, dan cemas menciptakan gambaran tentang tantangan dan rintangan yang mungkin dihadapi dalam kehidupan. Paradoks muncul ketika penyair menyatakan, "Aku berat melepas mendiang," yang merujuk pada kesulitan untuk melepaskan orang yang telah meninggal.

Simbolisme Saputangan dan Cacing Tanah: Penggunaan saputangan sebagai simbol penghapus airmata dan cacing tanah sebagai simbol lambatnya waktu untuk orang-orang yang telah mati menambah dimensi emosional dalam puisi. Simbolisme ini menyoroti rasa kehilangan, kesedihan, dan perbedaan dalam persepsi waktu antara hidup dan mati.

Paradoksalitas Hidup dan Kematian: Pernyataan "bah, itu paradok yang hidup atas bayangan" mengeksplorasi paradoks dalam kehidupan dan kematian. Penggunaan saputangan sebagai "simbol ungkapan arif" menunjukkan bagaimana kesedihan dapat diungkapkan dengan sederhana, sementara cacing tanah menggambarkan waktu yang lambat dan tak terhingga.

Kilat Tikaman Lingga dan Erang Maut: Metafora "kilat tikaman lingga di malam peluh" dan "erang maut disusul sekian tubuh" membawa elemen kejutan, bahaya, dan ketidakpastian dalam perjalanan hidup. Ini menciptakan gambaran kehidupan yang tidak selalu diprediksi dan penuh risiko.

Kesimpulan Puisi yang Merenung: Puisi ini menyimpulkan dengan kalimat, "daratan lepas, tepi berpaling," yang menciptakan gambaran tentang kebebasan yang diberikan oleh daratan dan keputusan untuk berpaling dari tepi. Ini bisa diartikan sebagai akhir dari perjalanan atau keputusan untuk meninggalkan suatu hal.

Bahasa yang Kaya dan Simbolisme yang Kuat: Rayani Sriwidodo menggunakan bahasa yang kaya dan simbolisme yang kuat untuk menyampaikan berbagai lapisan makna. Metafora dan simbol-simbol alam memberikan kedalaman pada pesan yang ingin disampaikan oleh penyair.

Refleksi tentang Hidup dan Alam: Puisi ini menantang pembaca untuk merenung tentang hubungan manusia dengan alam, permainan kehidupan, dan kompleksitas perasaan terkait dengan kematian. Pemilihan kata yang teliti dan bahasa yang indah menciptakan karya sastra yang menggugah emosi dan pemikiran.

Puisi "Bagai Bermain Biduk" karya Rayani Sriwidodo menghadirkan perjalanan hidup manusia sebagai biduk yang dimainkan oleh elemen-elemen alam. Dengan metafora dan simbolisme yang kuat, puisi ini memotret kerumitan kehidupan, paradoks kematian, dan perenungan tentang keberlanjutan hidup di tengah-tengah alam semesta yang penuh misteri.

Rayani Sriwidodo
Puisi: Bagai Bermain Biduk
Karya: Rayani Sriwidodo

Biodata Rayani Sriwidodo:
  • Rayani Lubis lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada tanggal 6 November 1946.
  • Rayani Lubis meniadakan marga di belakang nama setelah menikah dengan pelukis Sriwidodo pada tahun 1969 dan menambahkan nama suaminya di belakang namanya sehingga menjadi Rayani Sriwidodo.
© Sepenuhnya. All rights reserved.