Puisi: Pusara (Karya M. Poppy Hutagalung)

Puisi "Pusara" menggambarkan perjalanan hidup manusia dengan semua kegembiraan, kekecewaan, dan keterbatasannya. Dengan mengandalkan simbolisme dan ..
Pusara


di sini tenggelamnya sebukit harapan dan cita-cita
antara kasih dan hidup yang diberkahi
padanya tertadah tangan bagi kebebasan dan kemuliaan
lalu jarinya berbicara, serta semua memberi salam

kalau tiba waktunya manusia menagih
atas janjinya untuk segala harapan dan cita-cita
maka menengadah ia dan mohon berkat
adakah kelapangan baginya untuk berdoa dan berselamat

karena tahu ia betapa manusia memanjanya
memberi penghiburan atas kebebasan yang tertekan
saat-saat hatinya disuburi harapan dan kehidupan kembang
hingga datanglah deritanya, serta semua memberi jalan

di sini tenggelamnya sebukit harapan dan cita-cita
ketika pudar cahaya bulan di atasnya
mengeluh aku dan mengangkat kaki dari sana

ah, manusia, dan atas kehendakmu yang terjadi
pohonkanlah padanya suatu arti:
hidup inipun bukan lagi mimpi yang diberkahi


Sumber: Mimbar Indonesia (7 Juni 1958)

Analisis Puisi:
Puisi "Pusara" karya M. Poppy Hutagalung merangkum tema-tema kehidupan, harapan, cita-cita, serta keterbatasan manusia dalam menjalani perjalanan hidupnya.

Simbolisme Pusara: Pusara, atau kuburan, digunakan sebagai simbol tempat di mana harapan dan cita-cita tenggelam. Pusara menjadi metafora untuk menggambarkan akhir dari suatu perjalanan, mungkin berupa kegagalan, patah hati, atau keterbatasan hidup.

Dinamika Antara Kasih dan Hidup: Puisi menciptakan kontrast antara kasih dan hidup yang diberkahi. Ada ketegangan antara kebebasan dan kemuliaan yang diharapkan dalam hidup, dan realitasnya yang mungkin tidak sesuai dengan harapan.

Tangan yang Tertadah: "Padanya tertadah tangan bagi kebebasan dan kemuliaan" menciptakan gambaran orang yang berserah diri pada takdir dan memohon berkat atas kebebasan dan kemuliaan yang diinginkannya. Ini menyoroti rasa ketergantungan manusia pada kehendak yang lebih tinggi.

Panggilan untuk Berdoa: Puisi menggambarkan momen ketika seseorang, di hadapan kerapuhan hidup, menengadahkan wajahnya dan memohon berkat. Ada keinginan untuk mencari kelapangan dan keselamatan dalam doa.

Keterbatasan Manusia: Puisi menyentuh tema tentang keterbatasan manusia dalam meraih harapan dan cita-cita. Meskipun manusia memanjakan dirinya dengan harapan dan kembang kehidupan, tapi di saat derita datang, semua itu tampak pudar dan keterbatasan terungkap.

Keluhan dan Pembebasan: Penggunaan kalimat "mengeluh aku dan mengangkat kaki dari sana" menciptakan gambaran tentang keluhan dan pembebasan dari situasi sulit atau beban hidup. Ini menunjukkan sikap manusia yang menerima kenyataan dan berusaha meninggalkan kekecewaan.

Realitas Hidup yang Tidak Selalu Memuaskan: Dengan kalimat "hidup inipun bukan lagi mimpi yang diberkahi," puisi menggambarkan realitas kehidupan yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan atau impian yang diidamkan.

Puisi "Pusara" menggambarkan perjalanan hidup manusia dengan semua kegembiraan, kekecewaan, dan keterbatasannya. Dengan mengandalkan simbolisme dan gambaran kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti hidup, keterbatasan, serta bagaimana manusia berhadapan dengan berbagai realitas dalam perjalanan hidupnya.

Puisi: Pusara
Puisi: Pusara
Karya: M. Poppy Hutagalung

Puisi M. Poppy Hutagalung:
  • M. Poppy Hutagalung lahir di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1941.
  • M. Poppy Hutagalung, setelah menikah dengan penyair A.D. Donggo (pada tahun 1967), namanya menjadi M. Poppy Donggo.
  • M. Poppy Hutagalung merupakan salah satu penyair Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.