Cerpen: Aku bukan Mereka

Cerpen | Aku bukan Mereka | Saat aku melangkah menuju kelas, aku mendengar beberapa orang yang sedang membicarakan aku dengan Mike mengenai ....

Satu pagi berlalu, Ayah sedang di ruang TV dan aku di kamar. Seketika, aku tersentak kaget saat Ayah memanggilku.

"Shindi... Ayah ingin bicara sama kamu!" kata Ayah tegas.

"Iii... iya Ayah, Shindi akan segera ke sana!" kataku gugup.

Aku segera menemui Ayah. Seperti biasa, Ayah hanya diam dan menatapku tajam. Setelah beberapa menit kemudian, bunda pun mulai bicara.

"Shindi, Ayah kecewa sama kamu. Tadi Bu Haenah telepon, katanya nilai kamu turun!" kata Ayah.

Belum sempat aku jawab Ayah pun melanjutkan bicaranya.

"Kamu seharusnya contoh adek kamu, dia selalu mendapat juara kelas, nilainya juga tidak pernah turun. Tidak seperti kamu yang bisanya main-main saja, hingga nilaimu turun!" lanjut Ayah.

"Maaf Ayah, Shindi akan memperbaikinya." kataku lirih.

Keesokan harinya, ketika pulang sekolah. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku terdiam di sudut kelas, berfikir keras untuk bisa menjadi yang dibanggakan Ayah. Selintas aku teringat atas ucapan Bu Haenah, bahwa aku dan Mike terpilih mewakili sekolah kami untuk Lomba OSN Matematika, lomba itu akan dilaksanakan minggu depan. Aku pun tersenyum, juga menangis berharap bisa menjadi juara. Tiba-tiba Rahma datang menghampiriku.

Rahma adalah sahabatku sejak SMP. Dialah satu-satunya orang yang mengerti aku, dan selalu setia mendengarkan segala keluh kesahku.

"Heii, ngapain masih di sini?" tanya Rahma.

"Ooh, ngak lagi ngapa-ngapain kok, ini juga udah mau pulang!" jawabku.

"Oya, selamat yak kamu terpilih untuk ikut OSN Matematika" katanya dengan penuh semangat.

"Hehe, iya makasih ya li..." kataku.

"Sama-sama" jawabnya singkat.

Sesampainya di rumah aku terdiam, takut dan bingung saat melihat ayah duduk di ruang tamu, wajahnya terlihat marah.

"Shindi, kenapa kamu baru pulang?" tanya ayah ketus.

"Maaf ayah" jawabku.

"Kamu tuh ngga pernah mau nurut sama Ayah. Coba kamu lihat si Eka anak Bu Haenah. Dia selalu nurut sama orang tuanya. Seharusnya kamu bisa contoh dia." Jelas Ayah.

Hari yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Aku segera bergegas ke sekolah untuk berkumpul dengan Mike dan beberapa orang guru yang akan mendampingi aku dan Mike mengikuti OSN. Sesampainya di SMAN Malili, tempat dilaksanakannya OSN Matematika. Aku menjadi gugup, karna aku melihat begitu banyak siswa/siswi dari sekolah lain yang akan mengikuti OSN juga. Namun semua kecemasan itu memudar setelah aku mengingat tekadku untuk membanggakan Ayah.

Pemenang lomba OSN akan diberitahukan 3 hari setelahnya, namun baru akan diumumkan di sekolah pada hari senin, selesai upacara bendera. Aku tak sabar menunggu pengumuman tersebut. Sampai pada akhirnya, hari itupun tiba. Ternyata aku mendapat juara 3. Juara 1 diraih oleh Mike dan juara 2 diraih oleh Rara dari SMA Burau. Aku sedikit kecewa, namun aku tetap senang karena masih bisa dapat juara.

Aku tidak sabar untuk memberi tahu Ayah dan memberikan piala ini untuk Ayah. Semoga saja orang tuaku bisa bangga kepadaku.

Saat aku melangkah menuju kelas, aku mendengar beberapa orang yang sedang membicarakan aku dengan Mike mengenai pengumuman tadi.

"Eh, kasian banget ya si Shindi Cuma dapet juara 3."

"Iya, bener. Beda banget dengan Mike ya, dia hebat banget bisa dapat juara 1. Huuft, pasti bangga banget tuh orang tuanya punya anak seperti dia"

"Iya, aku tahu, tapi jangan bicara seperti itu dong! Jangan banding-bandingkan aku dengannya" sahutku dalam hati.

Di saat yang sama, Ibu Ira menghampiriku.

"Shindi, kenapa kamu cuma bisa dapat juara 3?" kata Bu Ira.

"Seharusnya kamu bisa belajar banyak dari Mike. Walaupun, dia aktif mengikuti banyak ekskul, tapi dia tetap bisa menjadi juara, dan nilainya juga tidak pernah turun!" lanjut Bu Ira.

Lagi-lagi aku hanya bisa diam, saat semuanya membanding-bandingiku, dan hanya bisa diam saat mereka memuji orang lain di hadapanku, tanpa memperdulikan perasaanku. Aku berharap kali ini bunda tak marah padaku dan bisa bangga padaku, karena yang aku inginkan adalah membuat Ayah bangga memiliki anak seperti aku. Namun, rasa pesimis muncul setelah mengingat perkataan beberapa orang tadi dan Bu Haenah.

Bel pulang sekolah berbunyi, aku terkejut dalam lamunanku. Aku segera bergegas untuk pulang, dengan membawa harapan besar dalam hatiku. Sesampainya di rumah aku mencari Ayah. Tak sengaja aku melihat ayah yang sedang memandang foto ibunya. Wajahnya terlihat ada kerinduan yang mendalam. Aku tersentak melihatnya, aku pun tak kuasa menahan air mata yang menetes membasahi pipiku. Tak lama kemudian, aku merasa Ayah mengetahui keberadaanku, akhirnya aku segera ke kamar.

Beberapa saat kemudian ayah masuk ke kamarku dan menanyakan mengenai pengumuman OSN tadi.

"Bagaimana hasil pengumumannya? Kamu dapat juara 1 kan?" Tanya ayah dengan penuh harap.

"Eeee... aku cuma dapat juara 3 Ayah!" jawabku lirih.

Ayah tak merespon jawabanku.

"Ayah banggakan sama Shindi?" tanyaku cemas.

"Tidak." Jawabnya singkat.

"Kenapa Ayah?" tanyaku.

"Karna kamu hanya bisa jadi yang ketiga, bukan yang pertama, karna kamu tidak bisa jadi seperti Adekmu yang selalu menjadi juara, dan karena kamu..."

"Cukup Ayah. Shindi ngga mau denger lagi!" kataku, memotong ucapan Ayah.

Harapanku sirna, hatiku sakit serasa teriris-iris mendengar ucapan Ayah. Aku tak sanggup menjalani hidup yang seperti ini. Pikiranku melayang entah ke mana, semuanya... semua perkataan Ayah, Bu Haenah, dan temen-temen menghantui pikiranku.

Sampai pada akhirnya, aku melakukan hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku bukan Mereka

***

Aku berniat untuk meninggalkan rumah, tapi kakek dari Ibuku menghalangiku untuk pergi dari rumah. Dan pada akhirnya aku tidak jadi meninggalkan rumah karena kakekku menasehatiku untuk tetep kuat dan buktikan bahwa kamu nanti jika dewasa akan menjadi anak yang sukses dan membanggakan orang tua.

Pada akhirnya aku lulus SMA, dan setelah aku lulus aku bekerja setahun dan mengumpulkan uang untuk membeli HP dan berniat kuliah di Jawa. Dan pada akhirnya aku berangkat ke Jawa untuk mendaftar kuliah dan mengikuti ujian. Beberapa bulan setelah ujian aku melihat hasil kelulusan, dan akhirnya aku lulus ujian. Aku bersyukur bisa kuliah di Jawa, sekaligus mondok.

Sekarang aku akan bersungguh-sungguh belajar supaya aku bisa menjadi seorang yang sukses serta bisa membanggakan orang tua dan seluruh keluarga.

Penulis: Shindi Fatika Sari

© Sepenuhnya. All rights reserved.