Pulau Bali, yang dikenal dengan julukan “Pulau Dewata,” bukan hanya menyuguhkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan kekayaan tradisi dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam harmoni. Salah satu perwujudan paling unik dan mendalam dari kekayaan tersebut adalah Hari Raya Nyepi, sebuah perayaan Tahun Baru Saka yang dirayakan dengan cara yang sungguh istimewa: melalui keheningan total. Praktik Nyepi 2025 bukan sekadar ritual keagamaan bagi umat Hindu Dharma Bali, melainkan juga sebuah manifestasi nyata dari toleransi dan semangat moderasi beragama yang patut direnungkan.
Inti dari Hari Raya Nyepi adalah Catur Brata Penyepian, empat larangan utama yang wajib dipatuhi selama 24 jam penuh: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak menghibur diri). Seluruh aktivitas di pulau dihentikan. Jalanan lengang, toko-toko tutup, dan bahkan bandara internasional pun menghentikan operasionalnya. Suasana hening dan khusyuk meliputi seluruh penjuru pulau.
Dalam konteks moderasi beragama, keunikan Nyepi terletak pada dampaknya yang melampaui batas-batas komunitas Hindu Dharma. Selama Nyepi, seluruh masyarakat Bali, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan, turut serta menghormati dan mematuhi tradisi ini. Umat Muslim, Kristen, Buddha, dan penganut kepercayaan lainnya secara sukarela menyesuaikan aktivitas mereka, menjaga ketenangan, dan menghormati kekhusyukan yang sedang berlangsung. Tidak ada paksaan, melainkan sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya menghormati nilai-nilai dan keyakinan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali.
Keheningan Nyepi menjadi ruang kontemplasi bersama. Bukan hanya bagi umat Hindu untuk introspeksi diri dan menyucikan jiwa, tetapi juga bagi seluruh masyarakat untuk merenungkan arti penting kebersamaan, toleransi, dan harmoni dalam keberagaman. Dalam sunyi, perbedaan seolah melebur, dan yang mengemuka adalah rasa saling menghormati dan keinginan untuk hidup berdampingan secara damai.
Semangat moderasi beragama tercermin pula dalam bagaimana umat Hindu Bali menjalankan ritual-ritual sebelum dan sesudah Nyepi. Upacara Melasti yang dilakukan beberapa hari sebelum Nyepi, misalnya, melibatkan arak-arakan sakral ke sumber air suci untuk menyucikan diri dan alam semesta. Kemudian, setelah Nyepi, dirayakan Ngembak Geni, sebuah hari di mana masyarakat kembali beraktivitas dan saling bersilaturahmi, mempererat tali persaudaraan. Rangkaian ritual ini menunjukkan keseimbangan antara introspeksi individual dan interaksi sosial, antara kesucian spiritual dan kehangatan komunal.
Hari Raya Nyepi di Bali adalah contoh konkret bagaimana tradisi dan nilai-nilai keagamaan dapat menjadi landasan yang kuat bagi terciptanya masyarakat yang toleran dan moderat. Keheningan yang dipraktikkan bukan hanya sebagai ritual individual, tetapi juga sebagai wujud penghormatan kolektif terhadap nilai-nilai spiritual dan sosial. Semangat saling menghormati dan tenggang rasa yang terpancar dari perayaan Nyepi menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam perbedaan pun, harmoni dan kebersamaan dapat terjalin dengan indah. Toleransi tidak selalu membutuhkan kata-kata; terkadang, ia justru hadir dalam keheningan yang penuh makna.
Penulis: Fakhrun Nisa