Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bilah Bambu (Karya L.K. Ara)

Puisi "Bilah Bambu" karya L.K. Ara bercerita tentang seorang penyair yang mempertanyakan kekuatan syairnya—apakah benar seperti bilah bambu: tipis ...
Bilah Bambu
Untuk Dimas

Seperti bilah bambu, katamu
Benarkah syairku begitu tipis
Namun juga begitu tajam
Untuk melihat dan menoreh
Borok di negeri kita

O negeri yatim piatu
Tak berayah tak beribu
Memang ada sosok
Yang dipajang
Namun dungu
Dan tak akan faham
Kalau negeri yang dipimpinnya
Negeri yatim piatu

Di negeri yatim piatu
Hak anak yatim piatu
Boleh diambil siapa saja
Termasuk para pemimpinnya
Karena tak tahu hak
Karena memang mereka dungu

Di negeri yatim piatu
Orang mengambil hak orang lain
Memperkaya diri hal yang biasa
Tak soal bila tetangganya
Tak punya rumah dan makan dari remah sampah

Kita yang tinggal di negeri yatim piatu
Rindu pada ayah ibu
Rindu pada kisah Rasulullah
Yang membelai rambut si yatim piatu.

Jakarta, 4 Februari 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Bilah Bambu" karya L.K. Ara merupakan kritik sosial tajam yang dibungkus dalam gaya bahasa sederhana namun menghunjam. Lewat metafora “bilah bambu”, penyair memosisikan puisinya sebagai alat tajam yang bisa menggores dan mengungkap luka sosial, khususnya keadaan bangsanya yang disebut sebagai "negeri yatim piatu". Puisi ini adalah jeritan nurani dan panggilan moral dalam bentuk sastra yang tajam namun jujur.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap kepemimpinan yang gagal dan ketidakadilan sosial di negeri sendiri. L.K. Ara dengan tegas mengangkat kondisi sebuah bangsa yang kehilangan arah dan nilai, digambarkan sebagai "negeri yatim piatu"—sebuah tempat tanpa kasih sayang, tanpa pemimpin yang peduli, dan tanpa pelindung bagi rakyat kecil.

Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang mempertanyakan kekuatan syairnya—apakah benar seperti bilah bambu: tipis tapi tajam? Ia lalu menggunakan metafora tersebut untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi bangsanya yang kacau. Negeri itu digambarkan sebagai yatim piatu, tanpa pemimpin sejati, dikuasai oleh pemegang kekuasaan yang dungu dan rakus. Dalam situasi itu, hak-hak orang lemah diambil begitu saja, dan penderitaan rakyat dianggap hal biasa. Puisi ini kemudian berujung pada kerinduan akan sosok pemimpin seperti Nabi Muhammad yang penyayang dan adil terhadap yatim piatu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kuat:
  • Negeri yatim piatu bukan hanya simbol kehilangan figur pemimpin, tapi juga kehilangan moral, nilai kemanusiaan, dan keberpihakan pada yang lemah.
  • Istilah “dungu” tidak hanya berarti bodoh secara intelektual, tapi juga tidak peka secara moral dan spiritual.
  • Dalam larik “memperkaya diri hal yang biasa”, penyair menyindir mentalitas korupsi yang sudah dianggap lazim bahkan oleh para pemimpin, memperlihatkan betapa rusaknya etika bernegara.
  • Di sisi lain, kerinduan terhadap Rasulullah mencerminkan kerinduan terhadap kepemimpinan ideal yang adil, penuh cinta, dan melindungi yang tertindas.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini gelap, getir, dan penuh kemarahan yang tertahan. Ada rasa kecewa mendalam terhadap kondisi bangsa, dikombinasikan dengan kepedihan dan rindu akan pemimpin sejati. Suasana itu diperkuat oleh pengulangan frase “negeri yatim piatu”, yang menyiratkan kehampaan dan kehilangan arah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan moral yang tajam dan tegas:
  • Bangsa tanpa pemimpin yang adil akan menjadi tempat yang menyakitkan bagi rakyat kecil.
  • Ketika pemimpin hanya menjadi simbol yang "dipajang", dan tidak memahami penderitaan rakyat, maka kekacauan dan ketidakadilan akan menjadi hal biasa.
  • Rakyat membutuhkan pemimpin yang punya empati, bukan hanya kekuasaan.
  • Puisi juga menjadi pengingat bahwa fungsi seni dan sastra bukan hanya memperindah kata, tetapi menajamkan nurani dan menyuarakan yang tak terdengar.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji sosial dan moral yang kuat:
  • “Seperti bilah bambu” → Imaji taktil (sentuhan) dan visual tentang sesuatu yang sederhana tapi tajam. Ini menggambarkan puisi sebagai alat pengungkapan kebenaran.
  • “Tak punya rumah dan makan dari remah sampah” → Imaji visual yang menggambarkan kemiskinan ekstrem dan ketimpangan sosial.
  • “Membelai rambut si yatim piatu” → Imaji kasih sayang dan kepemimpinan ideal, dikontraskan dengan kekejaman pemimpin saat ini.
Majas
L.K. Ara menggunakan majas secara efektif untuk menambah daya gugat puisinya:

Metafora:
  • “Seperti bilah bambu” → Menyimbolkan puisi sebagai alat tajam yang bisa membedah kebenaran.
  • “Negeri yatim piatu” → Melambangkan bangsa yang tidak punya arah, kehilangan moral dan kepemimpinan.
Personifikasi:
  • “Tak punya rumah dan makan dari remah sampah” → Menghadirkan benda mati (sampah) sebagai sumber makanan, memperkuat ironi sosial.
Repetisi:
  • Frase “di negeri yatim piatu” diulang beberapa kali untuk memperkuat tema dan membangun suasana kehilangan yang menyeluruh.
Ironi:
  • “Memang ada sosok / yang dipajang / namun dungu” → Kritik keras terhadap pemimpin yang hanya jadi simbol, bukan pelayan rakyat.
Puisi "Bilah Bambu" karya L.K. Ara adalah puisi sosial-politik yang tajam dan menyentuh. Dengan tema tentang kepemimpinan yang gagal dan realitas rakyat kecil yang tertindas, puisi ini bercerita tentang bangsa yang kehilangan sosok pelindung, sehingga ketidakadilan menjadi kebiasaan. Makna tersiratnya menyindir keras para pemimpin yang tak peduli, dan mengajak pembaca untuk merenungi pentingnya kepemimpinan yang berempati.

Melalui suasana getir dan imaji sosial yang kuat, serta penggunaan majas seperti metafora dan ironi, puisi ini bukan hanya jeritan batin, tapi juga alat perjuangan moral. Di akhir, puisi ini mengingatkan kita bahwa di tengah kegelapan, kita masih bisa rindu dan berharap pada sosok teladan yang memanusiakan manusia—seperti Rasulullah yang membelai rambut anak yatim. Sebuah sindiran sekaligus doa agar bangsa ini kembali menemukan nuraninya.

L.K. Ara
Puisi: Bilah Bambu
Karya: L.K. Ara

Biodata L.K. Ara:
  • Nama lengkap L.K. Ara adalah Lesik Keti Ara.
  • L.K. Ara lahir di Kutelintang, Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937.
© Sepenuhnya. All rights reserved.