Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Betis (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Betis" karya Gunoto Saparie bercerita tentang legenda Ken Arok yang jatuh hati pada Ken Dedes. Daya tarik Ken Dedes, khususnya "betis" yang ...
Betis

tak malam tak siang 
ken arok hanya terbayang 
betis, betis, dan betis 
punya si jelita ken dedes 

tak petang tak subuh 
ken arok risau dan resah 
bergolak nafsu keserakahan 
bermula dari betis menawan 

tak rindu tak dendam 
ken arok abai sembahyang 
di tangannya sebilah keris 
darah menetes karena betis 

tak malam, wahai, tak siang 
ken arok hanya terbayang 
betis penuh pesona bintang 
terkapar gandring dan ametung

Analisis Puisi:

Puisi "Betis" karya Gunoto Saparie merupakan sebuah karya yang mengangkat kembali fragmen sejarah Jawa, khususnya kisah legendaris tentang Ken Arok, Ken Dedes, serta keris Mpu Gandring. Melalui bait-baitnya yang singkat, padat, dan repetitif, puisi ini menampilkan betapa sebuah pesona tubuh dapat menjadi sumber ambisi, nafsu, dan tragedi berdarah.

Tema

Tema puisi ini berpusat pada nafsu, kekuasaan, dan tragedi. Penyair menggambarkan bagaimana pesona tubuh perempuan (betis Ken Dedes) menjadi pemicu lahirnya keserakahan Ken Arok yang berujung pada pertumpahan darah. Dengan demikian, tema puisi ini tidak hanya soal kecantikan, tetapi juga bagaimana keinginan manusia bisa menjerumuskannya pada kehancuran.

Puisi ini bercerita tentang legenda Ken Arok yang jatuh hati pada Ken Dedes. Daya tarik Ken Dedes, khususnya "betis" yang disebutkan berulang kali, membakar nafsu Ken Arok hingga melupakan kewajiban spiritual dan menimbulkan hasrat untuk merebut kekuasaan. Dari sinilah lahir kisah berdarah pembunuhan Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah peringatan bahwa hawa nafsu yang tidak terkendali dapat menghancurkan segalanya. Betis yang menjadi simbol kecantikan perempuan dipakai penyair untuk menggambarkan bagaimana daya tarik bisa menjadi pemantik ambisi yang melahirkan kekerasan dan perebutan kekuasaan. Secara lebih luas, puisi ini menyiratkan bahwa sejarah besar terkadang lahir dari hal-hal kecil, bahkan sepele, namun mampu memicu perubahan besar dan berdarah.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi terasa tegang, gelisah, dan penuh gairah tragis. Repetisi kata "betis" dan diksi-diksi seperti "risau", "bergolak nafsu", "darah menetes" menimbulkan atmosfer yang mencekam sekaligus menggugah imajinasi pembaca terhadap tragedi.

Amanat / Pesan

Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa manusia harus mampu mengendalikan nafsu dan keserakahannya. Keindahan atau pesona seharusnya tidak dijadikan alasan untuk merusak tatanan hidup. Nafsu yang membutakan hati, seperti yang dialami Ken Arok, hanya akan membawa kehancuran bagi diri sendiri maupun orang lain.

Imaji

Puisi ini menonjolkan imaji visual yang kuat, khususnya pada penggambaran "betis Ken Dedes" yang penuh pesona. Selain itu, ada imaji tragis seperti "di tangannya sebilah keris / darah menetes karena betis" yang menghadirkan bayangan nyata tentang pembunuhan. Imaji tersebut membuat puisi ini terasa hidup dan dramatis.

Majas

Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi → pengulangan kata "betis" untuk menekankan obsesi Ken Arok.
  • Metafora → "betis penuh pesona bintang" sebagai perumpamaan kecantikan Ken Dedes yang luar biasa.
  • Hiperbola → penggambaran betis seakan menjadi pemicu tunggal tragedi besar dalam sejarah Jawa.
Puisi "Betis" karya Gunoto Saparie berhasil menghidupkan kembali kisah klasik Jawa dengan gaya yang sederhana, repetitif, namun penuh makna. Melalui satu kata kunci, "betis", penyair menegaskan bahwa kecantikan bisa menjadi pemicu lahirnya nafsu, keserakahan, bahkan darah. Lebih dari sekadar legenda, puisi ini mengingatkan pembaca akan bahayanya nafsu yang tak terkendali dalam kehidupan manusia.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Betis
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta.  Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.