Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Jerusalem (Karya Beni Setia)

Puisi "Di Jerusalem" karya Beni Setia bercerita tentang pengalaman batin penyair saat “menemukan” Jerusalem, baik secara nyata maupun imajinatif.

Di Jerusalem

di jerusalem kutemukan dinding rahasia. "Musa,
kusaksikan duka kita; duka orang-orang terusir"
di jerusalem kupergoki ribuan setapak. Ratusan
tahun ziarah. Harapan-harapan dan tangis

"bagaimana nasib kita di masa mendatang?" teriak saudaraku
(aku ingat: Penyeberangan besar di Laut Merah. Di Beirut?
aku ingat: musim dingin di ghetto blokade Nazi. Di Beirut?)
"Musa, tak kutemukan Tuhan. Di Jerusalem, di sini, di sana"

Ia masih di bukit-bukit, masih dalam tenda para pengungsi,
di antara yang diusir, di antara yang ditindas. Dalam batin
"Musa, mengapa kamu tinggalkan, umatmu bersama Harun?
Musa, mengapa masih kamu cari-cari Tuhan?"

di jerusalem kutemukan dinding rahasia. Lengkung langit

1982

Sumber: Horison (November, 1982)
Catatan:
Puisi ini tidak memiliki judul.

Analisis Puisi:

Puisi "Di Jerusalem" karya Beni Setia merupakan karya yang penuh muatan sejarah, religiusitas, dan politik. Beni Setia menghadirkan perenungan mendalam tentang kota Jerusalem sebagai simbol luka, harapan, sekaligus kegelisahan umat manusia. Lewat bahasa puitis yang padat makna, ia menyulam kisah-kisah pengusiran, peperangan, hingga pencarian spiritual yang tak kunjung usai.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan dan pencarian spiritual di tengah konflik sejarah dan kemanusiaan. Jerusalem dihadirkan bukan hanya sebagai tempat suci, melainkan juga ruang penuh duka, pengungsian, dan pertanyaan eksistensial tentang keberadaan Tuhan.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin penyair saat “menemukan” Jerusalem, baik secara nyata maupun imajinatif. Jerusalem digambarkan sebagai kota yang sarat dengan jejak penderitaan umat manusia: dinding rahasia yang menyimpan duka orang-orang terusir, ziarah panjang ratusan tahun, hingga tangisan pengungsi yang terus mencari rumah dan kepastian. Penyair juga menghadirkan sosok Musa sebagai simbol pemimpin spiritual yang terus dipanggil-panggil dalam keraguan dan penantian.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap realitas ketidakadilan, penindasan, dan pengusiran yang terus berlangsung atas nama sejarah maupun kekuasaan. Penyair mempertanyakan keberadaan Tuhan yang seolah tidak hadir dalam penderitaan manusia. Ada juga pesan eksistensial: bahwa pencarian Tuhan bukan hanya di tempat suci, melainkan dalam keberpihakan kepada mereka yang tertindas.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini didominasi oleh kesedihan, kegelisahan, dan perenungan yang getir. Ada nuansa duka kolektif yang diangkat, namun di balik itu tetap terasa semacam keheningan spiritual, seakan-akan pembaca diajak merenung dalam kesunyian kota penuh luka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan puisi ini adalah bahwa sejarah kemanusiaan, terutama di Jerusalem, adalah catatan panjang penderitaan yang tidak boleh dilupakan. Penyair menekankan bahwa pencarian Tuhan harus diiringi dengan keberpihakan pada manusia yang terusir dan tertindas. Selain itu, ada ajakan untuk tidak hanya mencari simbol-simbol religius, melainkan memahami substansi keadilan dan kasih yang semestinya menjadi inti dari spiritualitas.

Imaji

Beni Setia menghadirkan imaji yang kuat dan historis, misalnya:
  • “dinding rahasia” yang melambangkan tembok penuh doa, harapan, sekaligus duka.
  • “ratusan tahun ziarah” yang membentuk gambaran perjalanan panjang manusia mencari arti hidup dan Tuhan.
  • “musim dingin di ghetto blokade Nazi” yang menghadirkan bayangan sejarah kelam penindasan.
  • “tenda para pengungsi” yang langsung membangkitkan imaji penderitaan dan keterasingan manusia.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan bahwa Jerusalem adalah pusat luka sejarah sekaligus simbol pencarian abadi.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “dinding rahasia” sebagai lambang rahasia penderitaan dan doa umat.
  • Repetisi: pengulangan kata “Musa” sebagai seruan spiritual sekaligus retoris.
  • Personifikasi: “Jerusalem kupergoki ribuan setapak” seolah kota itu hidup dan menyimpan jejak manusia.
  • Pertanyaan retoris: “Musa, mengapa kamu tinggalkan umatmu bersama Harun?” yang menggambarkan keputusasaan dan kekecewaan.
Puisi "Di Jerusalem" karya Beni Setia adalah refleksi mendalam tentang sejarah luka umat manusia, terutama yang berpusat di kota suci Jerusalem. Dengan memadukan sejarah, spiritualitas, dan kritik sosial, Beni Setia berhasil menciptakan karya yang sarat makna. Ia tidak hanya menyingkap sisi religius Jerusalem, tetapi juga menyuarakan duka para pengungsi dan mereka yang terus mencari Tuhan di tengah penderitaan.

Beni Setia
Puisi: Di Jerusalem
Karya: Beni Setia

Biodata Beni Setia:
  • Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.