Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepada Korrie Layun Rampan (Karya Gunoto Saparie)

Puisi “Kepada Korrie Layun Rampan” karya Gunoto Saparie bercerita tentang refleksi manusia terhadap kesucian asalnya. Manusia datang dari sesuatu ...
Kepada Korrie Layun Rampan

kita berasal dari putih
namun mampukah tetap putih
lalu kembali kepada putih?
putih, katamu, putih, putih…

Analisis Puisi:

Puisi pendek karya Gunoto Saparie berjudul “Kepada Korrie Layun Rampan” menyimpan kekuatan makna meski hanya terdiri dari beberapa baris. Puisi ini tidak hanya berupa sapaan kepada sesama penyair, melainkan juga sebuah renungan filosofis tentang asal-usul, kesucian, dan perjalanan hidup manusia. Kata kunci “putih” menjadi simbol sentral yang menyatukan seluruh bait.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian kesucian dan asal-usul kehidupan manusia. Kata “putih” menjadi representasi kesucian, ketulusan, dan keaslian yang dimiliki manusia sejak awal. Pertanyaan yang diajukan penyair tentang kemampuan manusia untuk “tetap putih” menyinggung persoalan moral, spiritual, sekaligus sosial.

Puisi ini bercerita tentang refleksi manusia terhadap kesucian asalnya. Manusia datang dari sesuatu yang murni—“putih”—namun sepanjang hidup menghadapi godaan, noda, dan kerumitan. Pertanyaan yang diajukan penyair seakan menggugat: mampukah manusia menjaga kesucian itu hingga akhir, lalu kembali kepada Sang Asal dengan tetap putih?

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik dan renungan moral-spiritual. Gunoto Saparie ingin menyampaikan bahwa meskipun manusia berasal dari kesucian, tidak semua mampu menjaga kejernihan itu. Kata “putih” yang diulang-ulang menegaskan betapa sukar menjaga kemurnian dalam perjalanan hidup yang penuh ujian. Dengan demikian, puisi ini dapat dimaknai sebagai peringatan, ajakan, sekaligus doa agar manusia tetap setia pada asal-usulnya yang suci.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, kontemplatif, dan penuh renungan. Pengulangan kata “putih” menghadirkan kesan repetitif yang mirip dengan mantra, sehingga suasana puisi terasa sakral sekaligus penuh permenungan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat diambil adalah bahwa manusia seharusnya menjaga kesucian hati dan hidupnya. Meskipun dunia menawarkan banyak tantangan, manusia diajak untuk tetap bertahan pada jalan yang benar, agar kelak bisa kembali kepada Sang Pencipta dengan keadaan yang suci seperti ketika lahir.

Imaji

Imaji yang muncul dalam puisi ini lebih bersifat imaji abstrak dan simbolis. Kata “putih” membangkitkan bayangan tentang cahaya, kebersihan, kesucian, dan ketulusan. Imaji yang sederhana namun kuat ini mampu menggugah pembaca untuk merenungkan makna terdalam dari perjalanan hidup manusia.

Majas

Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi: Kata “putih” diulang berkali-kali untuk menegaskan makna kesucian dan menghadirkan efek magis.
  • Simbolik: “Putih” menjadi simbol dari kesucian, ketulusan, dan asal mula kehidupan manusia.
  • Interogasi retoris: Pertanyaan “namun mampukah tetap putih / lalu kembali kepada putih?” bukan sekadar tanya, melainkan refleksi mendalam.

Puisi “Kepada Korrie Layun Rampan” karya Gunoto Saparie adalah renungan filosofis yang singkat namun penuh makna. Melalui simbol “putih”, penyair mengajak pembaca merenungkan asal-usul manusia yang suci, perjalanan hidup yang penuh cobaan, serta harapan untuk kembali pada kesucian itu. Kesederhanaan bentuknya justru memperkuat kekuatan makna, sehingga puisi ini mampu meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang membacanya.

Foto GS Halim
Puisi: Kepada Korrie Layun Rampan
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.