Pesantren dan Harapan
Jiwa-jiwa terbangun, saat azan berkumandang
Riuh lantunan Al-Quran, saat fajar mendatang
Beramai-ramai membawa pedoman
Setiap waktu berhembuskan angin berbaur syairan
Saat malam yang berbalut lelah
Hati membujuk diri untuk menyerah
Kuingat sebab manusia diciptakan
Sumbangsih tanpa batas terhadap peradaban
Tangisan bukan berarti lemah
Diam bukan berarti menaruh amarah
Sebab juang belum dipertemukan
Kupeluk pelik dengan keyakinan
Ilmu menjagaku, agama menyempurnakanku
Ikhtiar dalam berserah, kugenggam keyakinan dengan kalimat thayyibah
2024
Analisis Puisi:
Puisi "Pesantren dan Harapan" karya Tri Yunizar Hidayatun Ismi adalah karya sastra yang menggambarkan kehidupan di pesantren dengan segala tantangannya serta harapan yang selalu tumbuh di dalam hati santri. Melalui rangkaian kata yang lembut namun penuh makna, puisi ini membawa pembaca menyelami perjalanan spiritual dan tekad yang kuat dalam menjalani kehidupan sebagai seorang santri. Dengan latar pesantren yang kental dengan nilai religius dan pendidikan, puisi ini mengajak kita memahami makna pengabdian, perjuangan, dan keyakinan.
Menggambarkan Kehidupan Pesantren yang Penuh Kesyahduan
Pada bait awal, “Jiwa-jiwa terbangun, saat azan berkumandang, riuh lantunan Al-Quran, saat fajar mendatang”, puisi ini memperlihatkan suasana khas pesantren. Denting azan yang membangunkan santri di pagi hari dan suara lantunan Al-Quran yang terdengar mengiringi fajar merupakan pemandangan yang sarat akan kedamaian. Kata-kata ini menggambarkan kehidupan di pesantren yang penuh dengan ibadah dan aktivitas keagamaan. Di sini, santri diibaratkan sebagai “jiwa-jiwa” yang terbangun, menunjukkan kesiapan mereka untuk memulai hari dengan ibadah dan belajar.
Pesantren diibaratkan sebagai ruang di mana hati dan pikiran para santri selalu dipenuhi oleh pedoman dalam bentuk ajaran agama yang membimbing mereka setiap waktu. Latar ini memberikan kesan bahwa kehidupan di pesantren bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga menjalani hidup yang bersandar pada nilai-nilai luhur agama.
Pernyataan Keteguhan Hati di Tengah Lelahnya Perjuangan
Pada bait selanjutnya, Tri Yunizar menggambarkan keadaan ketika para santri merasa lelah, “Saat malam yang berbalut lelah, hati membujuk diri untuk menyerah.” Kalimat ini mencerminkan sisi kemanusiaan yang ada pada diri para santri; meskipun mereka berada di lingkungan religius, mereka juga mengalami tantangan, keraguan, dan kelelahan. Lelah adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan spiritual, dan kehadiran rasa itu bukan tanda kelemahan, tetapi bagian dari proses yang membentuk ketangguhan seseorang.
Namun, rasa lelah ini diimbangi dengan pengingat, “Kuingat sebab manusia diciptakan, sumbangsih tanpa batas terhadap peradaban.” Pengingat ini mengacu pada misi dan tujuan manusia dalam berkontribusi kepada peradaban. Di sinilah kita bisa melihat bahwa kehidupan pesantren tidak hanya sekadar pembelajaran pribadi, tetapi juga sebagai persiapan bagi para santri untuk memberikan kontribusi nyata di masyarakat. Tri Yunizar menggambarkan pesan bahwa kelelahan adalah bagian dari perjuangan, yang di dalamnya terdapat pengingat untuk terus berusaha.
Membangun Keimanan dan Pengabdian dalam Kesunyian
“Tangisan bukan berarti lemah, diam bukan berarti menaruh amarah.” Baris ini menunjukkan kedalaman emosi santri dalam menghadapi tantangan. Dalam kehidupan pesantren, mungkin ada momen-momen sulit yang dihadapi dengan tangisan atau kesunyian, tetapi semua itu bukan berarti tanda kelemahan. Justru, tangisan bisa menjadi bentuk penguatan diri dan sarana pelepasan beban. Diam juga tidak selalu berarti tidak peduli, melainkan mungkin sebagai cara untuk menenangkan hati dan pikiran.
Ungkapan ini menekankan bahwa kehidupan di pesantren melibatkan emosi yang kompleks, tetapi emosi tersebut selalu dihadapi dengan penuh pengertian dan keikhlasan. Tri Yunizar menunjukkan bahwa para santri belajar untuk mengatasi rasa sakit dan kekecewaan dengan cara yang bijak, tanpa kehilangan arah dalam prosesnya.
Keyakinan dan Kekuatan Iman sebagai Penjaga Diri
Pada bait terakhir, “Ilmu menjagaku, agama menyempurnakanku, ikhtiar dalam berserah, kugenggam keyakinan dengan kalimat thayyibah”, Tri Yunizar menyampaikan bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi dalam hidup seorang santri. Ilmu menjadi pelindung yang menjaga mereka dalam menghadapi berbagai tantangan, sementara agama menjadi penyempurna yang memberikan arah hidup yang jelas.
Ikhtiar, atau usaha, yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan berserah diri menjadi inti dari kehidupan di pesantren. Tri Yunizar mengakhiri puisi dengan kata kalimat thayyibah, yang merujuk pada kata-kata yang baik dan penuh keberkahan. Ini menunjukkan bahwa setiap langkah santri dipenuhi dengan doa dan keyakinan pada Allah, mengarahkan mereka untuk selalu berbuat baik dan memperjuangkan yang benar dalam hidup.
Makna Kehidupan dan Harapan di Pesantren
Puisi "Pesantren dan Harapan" karya Tri Yunizar Hidayatun Ismi adalah gambaran indah tentang kehidupan di pesantren yang penuh dengan perjuangan dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Melalui untaian kata-kata yang puitis dan bermakna, Tri Yunizar menampilkan perjalanan spiritual dan mental yang dialami para santri di tengah tantangan hidup. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang kesulitan yang dihadapi, tetapi juga tentang keyakinan, kekuatan iman, dan harapan yang selalu menyala di hati mereka.
Tri Yunizar berhasil menggambarkan kehidupan pesantren sebagai tempat di mana santri dibentuk bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan pengabdian dan cinta kepada agama. Melalui puisi ini, kita dapat melihat bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga tempat seseorang belajar memahami dirinya, menjalani hidup dengan penuh makna, dan mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari perubahan di masyarakat.
Karya: Tri Yunizar Hidayatun Ismi
Biodata Tri Yunizar Hidayatun Ismi:
- Tri Yunizar Hidayatun Ismi lahir pada tanggal 21 Juni 2004 di Brebes.
- Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Syaifuddin Zuhri Purwokerto.