Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Variasi Imigran (Karya Beni Setia)

Puisi “Variasi Imigran” karya Beni Setia bercerita tentang seseorang yang merasa menjadi orang asing di tempat ia hidup, bahkan oleh sistem yang ...
Variasi Imigran

Data KTP sunyi, ketika di-scan
terbaca: Alien
Aku berasal dari mana? Rentangan
rel ratusan mil
Berangkat petang tiba pagi, tersuruk
ke waktu lain
Apakah kita satu silsilah? Engkau
melengos - bungkam.
Dan derap roda kereta sepertinya
menuding: kau kau...
Tolong dicatat: mati dalam terbuang
- berkalang sunyi
Sendiri lagi. Kembali jadi angin
: semesta hampa.

2015

Analisis Puisi:

Dalam puisi “Variasi Imigran”, Beni Setia menuliskan sebuah fragmen eksistensial yang tajam, getir, dan penuh sunyi. Puisi ini berbicara lebih dari sekadar perpindahan tempat; ia adalah cerita tentang keterasingan, identitas yang kabur, dan manusia yang terlempar ke dunia yang tidak mengakui keberadaannya. Dengan gaya bahasa yang padat dan simbolik, puisi ini menjadi potret batin para “alien” di dunia nyata—mereka yang hilang nama, bangsa, dan bahkan tempat pulang.

Tema

Puisi ini mengangkat tema keterasingan identitas dan eksistensi manusia terbuang. Keterasingan tersebut tidak hanya dalam makna fisik—sebagai imigran atau pengembara—tetapi lebih dalam: keterasingan eksistensial di tengah dunia yang menolak mengenali siapa dirinya.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasa menjadi orang asing di tempat ia hidup, bahkan oleh sistem yang seharusnya mencatat dan mengenalnya. Ketika data KTP (Kartu Tanda Penduduk) di-scan, yang terbaca hanyalah “Alien”—sebuah istilah teknis yang di sini disulap menjadi simbol keterasingan yang menyakitkan. Ia menyusuri “rel ratusan mil”, pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari petang ke pagi, namun tak pernah benar-benar sampai di rumah. Bahkan saat mencoba menjalin hubungan—“Apakah kita satu silsilah?”—ia hanya mendapat bungkam. Di akhir, tokoh liris merasa mati dalam keterbuangan, dan menjadi “angin” dalam semesta yang hampa.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah gambaran getir tentang manusia yang kehilangan jati diri dalam sistem modern. Identitas administratif, yang seharusnya mengukuhkan keberadaan, justru menghapusnya. Ini adalah kritik terhadap birokrasi dan sistem sosial yang dingin, di mana manusia bisa direduksi hanya menjadi “data”, bahkan dianggap “Alien”—bukan karena berasal dari planet lain, tetapi karena dianggap bukan siapa-siapa.

Makna lainnya berkaitan dengan perjalanan eksistensial manusia, yang kerap berpindah dan berjuang untuk menemukan makna keberadaannya, namun sering kali berakhir dalam sunyi dan keterasingan. Ada nuansa eksil dalam puisi ini—baik secara fisik maupun batin.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat sunyi, getir, dan melankolis. Dari awal hingga akhir, pembaca diajak menyelami kehampaan yang dialami tokoh lirik. Kata-kata seperti “sunyi”, “tersuruk ke waktu lain”, “berkalang sunyi”, dan “semesta hampa” menciptakan suasana yang gelap dan penuh kesepian. Ini bukan sekadar kesendirian biasa, tetapi sunyi yang eksistensial—seperti seseorang yang hidup tanpa pengakuan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah pentingnya pengakuan terhadap identitas dan kemanusiaan seseorang. Dunia modern sering kali memperlakukan manusia hanya sebagai angka atau data, dan ini dapat menyebabkan hilangnya jati diri serta rasa keterhubungan antarmanusia. Puisi ini juga memberi peringatan tentang apa yang bisa terjadi jika manusia terus-menerus teralienasi: mereka akan menjadi “angin” dalam semesta yang hampa—hidup tanpa tempat, tanpa pengakuan, tanpa makna.

Imaji

Puisi ini memanfaatkan imaji yang kuat dan simbolik untuk menggambarkan keterasingan dan kehampaan:
  • Imaji visual: “rel ratusan mil”, “mati dalam terbuang”, “jadi angin”, “semesta hampa” – menghadirkan lanskap luas yang kosong dan sunyi.
  • Imaji suara: “derap roda kereta” dan “menuding: kau kau...” – menciptakan suasana tekanan batin, seolah sistem atau dunia menghakimi keberadaan tokoh lirik.
Semua imaji ini bekerja sama membangun kesan keterpisahan antara individu dan dunia.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “Data KTP sunyi” menyiratkan dokumen identitas yang tak berfungsi secara personal; “jadi angin” melambangkan hilangnya eksistensi; “semesta hampa” menggambarkan dunia yang tidak bermakna lagi.
  • Personifikasi: “Derap roda kereta menuding” – kereta seolah menjadi entitas yang bisa menghakimi.
  • Simbolisme: Istilah “Alien” bukan hanya teknis, tetapi simbol keterasingan mendalam.
  • Ironi: Sistem identitas yang seharusnya menyatukan malah menjadi sumber pengasingan.
Majas-majas ini memperkuat pesan puisi dan menghadirkan rasa getir serta kedalaman makna dalam puisi yang ringkas namun penuh resonansi ini.

Puisi “Variasi Imigran” karya Beni Setia adalah potret puitik tentang manusia yang terasing di dunia modern—baik secara administratif maupun eksistensial. Lewat metafora identitas, perjalanan, dan sunyi, penyair menggambarkan bagaimana seseorang bisa menjadi “alien” di tempat yang seharusnya ia sebut rumah. Dalam dunia yang kian sibuk dan birokratis, puisi ini menjadi pengingat bahwa keberadaan manusia tidak boleh direduksi hanya menjadi data atau status; manusia tetap butuh pengakuan, hubungan, dan makna.

Beni Setia
Puisi: Variasi Imigran
Karya: Beni Setia

Biodata Beni Setia:
  • Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.