Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku Ingin Tanpa Sandera (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Aku Ingin Tanpa Sandera" karya D. Kemalawati menghadirkan perenungan indah tentang arti kebebasan, ketulusan, dan kehangatan hidup.
Aku Ingin Tanpa Sandera

Aku ingin menjadi pagi
bagi matahari
menjaga kemilau embun
di kelopak muda

Aku ingin menjadi senja bagi matahari
menjaga jingga pada pohon rimba
di rimbun pelepah muda

Aku ingin menjadi cahaya
bagi mata bayi yang belum terbuka
cahaya lentera yang tak menyilaukan
sekedar rasa hangat untuk menggeliat
lepas dari belenggu waktu ketuban ibu

Aku ingin disapa udara yang lepas dari laut raya
lalu mengajak biduk menarikan nyanyian samudra
tanpa dayung dan kemudi sebagai sandera.

Banda Aceh, 17 Desember 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Aku Ingin Tanpa Sandera" karya D. Kemalawati adalah sebuah renungan puitis tentang kebebasan, ketulusan, dan makna keberadaan manusia. Penyair menggunakan citra alam seperti pagi, senja, cahaya, udara, dan laut untuk menggambarkan kerinduan akan hidup yang murni, bebas, dan penuh kasih tanpa adanya belenggu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan akan kebebasan hidup yang penuh kasih dan ketulusan, tanpa terikat oleh belenggu maupun sandera.

Puisi ini bercerita tentang hasrat manusia untuk hadir dalam kehidupan sebagai sesuatu yang memberi cahaya, kehangatan, dan ketenangan—baik sebagai pagi, senja, maupun cahaya bagi kehidupan baru. Pada akhirnya, penyair menekankan kerinduan untuk bebas, diibaratkan seperti biduk di lautan yang menari bersama nyanyian samudra tanpa terikat oleh kendali.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kehidupan sejati seharusnya dijalani dengan penuh cinta dan kebebasan. “Tanpa sandera” dapat dipahami sebagai simbol keinginan untuk hidup tanpa tekanan, tanpa keterikatan, dan tanpa kehilangan jati diri. Ada juga makna spiritual, bahwa keberadaan manusia di dunia bukan untuk menguasai atau dikuasai, melainkan untuk memberi manfaat secara tulus.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini bernuansa tenang, lembut, dan penuh harapan. Imaji pagi, senja, cahaya bayi, serta udara laut raya menghadirkan keheningan yang indah sekaligus kekuatan yang membebaskan.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa hidup ideal adalah hidup yang mampu memberi cahaya, ketulusan, dan kehangatan bagi sesama, serta dijalani dengan kebebasan tanpa belenggu. Manusia harus belajar untuk melepaskan diri dari “sandera” dalam bentuk keterikatan ego, kekuasaan, atau kendali, sehingga hidup lebih murni dan bermakna.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang memperkuat keindahannya:
  • Imaji visual: “menjaga kemilau embun di kelopak muda”, “menjaga jingga pada pohon rimba” – menghadirkan gambaran alam yang segar.
  • Imaji cahaya: “cahaya bagi mata bayi yang belum terbuka”, “cahaya lentera yang tak menyilaukan” – menegaskan makna kehangatan dan harapan.
  • Imaji auditori: “biduk menarikan nyanyian samudra” – menghadirkan suasana laut yang hidup dan dinamis.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “Aku ingin menjadi pagi bagi matahari” dan “Aku ingin menjadi senja bagi matahari” adalah kiasan tentang peran memberi cahaya dan keindahan.
  • Personifikasi – Pagi, senja, dan udara digambarkan seakan memiliki kemampuan untuk menjaga, menyapa, dan mengajak.
  • Simbolisme – “Biduk tanpa dayung dan kemudi” melambangkan kebebasan hidup tanpa belenggu atau kendali.
Puisi "Aku Ingin Tanpa Sandera" karya D. Kemalawati menghadirkan perenungan indah tentang arti kebebasan, ketulusan, dan kehangatan hidup. Dengan menghadirkan imaji alam yang lembut serta majas yang simbolis, penyair mengajak pembaca untuk memahami bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi, menyinari, dan tetap bebas dari segala sandera.

D. Kemalawati
Puisi: Aku Ingin Tanpa Sandera
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.