Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kota Pendaki (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Kota Pendaki" karya Afrizal Malna bercerita tentang sebuah kota yang dipenuhi kematian, keterasingan, dan absurditas, di mana manusia, ...
Kota Pendaki

Di kota kematian
aku ciptakan waktu

Menghembuslah sapi-sapi membawa rumput ke padang-
padang jagal. Membuka hotel-hotel telanjang. Aku karam 
dalam hutan besi-besi semata: Manusia! Daerah maut yang 
dilupa aku tangisi.

Di kota kematian rumput tak minta lagi padang-padang. Sapi 
membawa sendiri lehernya berkibar pada setiap pendakian. M
embawa laut-laut membawa gunung-gunung ke tanah-
tanah perhitungan. O monumen manusia yang goyang.

Bukan lagi tangis atau tepuk. Tapi langit! Akar yang menda
kinya. Laut mengibarkan pantai-pantai bagi setiap penantian, 
terangkat! Membongkar bintang-bintang tempat tangisku 
terbakar.

Di kota kematian
aku terus bertiup.

1981

Sumber: Abad yang Berlari (1984)
Catatan:
Puisi ini pernah muncul di Majalah Horison edisi Mei 1984.

Analisis Puisi:

Afrizal Malna dikenal sebagai penyair yang kaya dengan simbol, imaji absurd, dan gaya eksperimental yang memadukan antara realitas sosial, urbanisasi, dan bahasa puitik yang berlapis. Puisi Kota Pendaki merupakan salah satu karyanya yang memperlihatkan betapa kompleks dan kritis pandangannya terhadap manusia, kota, dan kehidupan.

Tema

Tema puisi ini adalah kematian, absurditas manusia, dan keterasingan dalam modernitas kota. Afrizal Malna menggambarkan kota bukan hanya sebagai ruang hidup, tetapi juga sebagai ruang kematian di mana manusia kehilangan arah, terjebak dalam simbol-simbol material, dan berjalan menuju kehancuran.

Puisi ini bercerita tentang sebuah kota yang dipenuhi kematian, keterasingan, dan absurditas, di mana manusia, hewan, dan alam digambarkan terjebak dalam siklus kehancuran. Gambaran sapi membawa dirinya ke padang jagal, hotel-hotel telanjang, hingga hutan besi-besi menunjukkan potret kota yang kehilangan makna kehidupan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap modernitas, urbanisasi, dan peradaban manusia yang kian kehilangan nilai kemanusiaan. Kota yang seharusnya menjadi ruang hidup justru menjadi ruang kematian, di mana manusia berubah menjadi monumen yang goyah, rapuh, dan tidak lagi memiliki pondasi spiritual maupun moral.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini penuh dengan kesuraman, absurditas, dan kegelisahan eksistensial. Setiap larik menghadirkan perasaan gelap, mencekam, dan seakan dunia modern adalah perjalanan mendaki menuju kehancuran yang tak bisa dihindari.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa manusia modern perlu menyadari absurditas dan kehancuran yang mereka ciptakan sendiri. Kota dengan segala simbol kemajuan material justru bisa menjadi ruang kematian jika manusia kehilangan nilai-nilai hakiki kemanusiaannya.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji yang kuat, di antaranya:
  • “Sapi-sapi membawa rumput ke padang-padang jagal” → imaji visual tragis tentang hewan yang seakan menjemput kematiannya sendiri.
  • “Hotel-hotel telanjang” → imaji urban yang absurd, menggambarkan ruang kota yang kehilangan etika dan kemanusiaan.
  • “Aku karam dalam hutan besi-besi semata” → imaji tentang terjebak dalam modernitas yang keras dan dingin.
  • “Sapi membawa sendiri lehernya berkibar pada setiap pendakian” → imaji perlawanan sekaligus kepasrahan menuju takdir maut.
  • “Laut mengibarkan pantai-pantai bagi setiap penantian” → imaji kosmik yang menghadirkan rasa penantian abadi dalam absurditas hidup.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas, antara lain:
  • Metafora – “Hutan besi-besi” sebagai gambaran kota modern penuh beton dan baja.
  • Personifikasi – “Sapi membawa sendiri lehernya” seolah hewan memiliki kesadaran untuk menjemput maut.
  • Hiperbola – “Membawa laut-laut membawa gunung-gunung ke tanah-tanah perhitungan” yang melebih-lebihkan gerakan alam sebagai simbol kehancuran besar.
  • Simbolisme – “Hotel-hotel telanjang” sebagai simbol keruntuhan moralitas dalam kota.
Puisi "Kota Pendaki" karya Afrizal Malna menghadirkan gambaran kota modern sebagai ruang kematian dan absurditas. Dengan tema tentang keterasingan dan kehancuran manusia dalam modernitas, puisi ini bercerita tentang absurditas hidup di kota yang penuh dengan simbol kehancuran. Makna tersiratnya adalah kritik sosial terhadap peradaban yang kehilangan nilai kemanusiaan. Imaji yang kuat dan majas yang padat menjadikan puisi ini penuh kekuatan simbolik. Suasana suram yang ditampilkan menegaskan bahwa kota tidak selalu identik dengan kehidupan, tetapi bisa menjadi jalan menuju kehancuran jika manusia melupakan hakikat dirinya.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Kota Pendaki
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.