Mendengarkan Gerimis
Sebelum Subuh
tidurku menjadi semacam laut tak bergelombang
pelayaran tertunda karena kecemasan dermaga
mercusuar telah mati di tepi siang
tidurku tanpa angin dan melukiskan dahaga
seperti kecemasanmu menggenggam badai
mimpi membaca gerimis yang tak usai
tapi perahu-perahu akan pulang
seperti air mata yang tergenang
di pipi mataharimu
mendengarkan gerimis sebelum subuh
kuingat petir di rahimmu berlabuh.
2002
Analisis Puisi:
Puisi "Mendengarkan Gerimis Sebelum Subuh" karya Tri Astoto Kodarie adalah karya yang memadukan nuansa kontemplatif, kerinduan, dan kegelisahan batin. Dengan balutan metafora yang kental, penyair menghadirkan suasana hening sebelum fajar, di mana gerimis menjadi latar dari pergulatan perasaan manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kecemasan dan kerinduan batin manusia dalam menghadapi perjalanan hidup. Penyair mengaitkan perasaan itu dengan suasana gerimis sebelum subuh, yang menjadi simbol kesendirian, penantian, sekaligus harapan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang larut dalam kegelisahan menjelang subuh, ketika tidur tak lagi tenang dan mimpi dipenuhi bayangan kecemasan. Simbol-simbol laut, perahu, mercusuar, badai, dan gerimis digunakan untuk menggambarkan jiwa yang gamang, rindu, sekaligus haus akan ketenangan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah hidup manusia adalah pelayaran yang penuh cemas, rindu, dan penantian. Mercusuar yang mati dan pelayaran yang tertunda adalah simbol hilangnya arah, sementara perahu-perahu yang pulang menggambarkan harapan akan kepastian dan pertemuan. Petir yang "berlabuh di rahim" memberi isyarat bahwa di balik kegelisahan selalu ada awal kehidupan baru, sebuah energi yang melahirkan harapan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini adalah hening, melankolis, dan penuh kontemplasi. Gerimis sebelum subuh menghadirkan rasa sepi dan sendu, namun tetap menyimpan percikan harapan akan datangnya pagi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini adalah ajakan untuk menerima kecemasan dan kesedihan sebagai bagian dari perjalanan hidup, sebab dari keresahan itulah akan lahir harapan dan kehidupan baru.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji, misalnya:
- Imaji penglihatan: “mercusuar telah mati di tepi siang”, “perahu-perahu akan pulang”.
- Imaji pendengaran: “mendengarkan gerimis sebelum subuh”.
- Imaji perasaan: “seperti kecemasanmu menggenggam badai”.
- Imaji tubuh: “air mata yang tergenang di pipi mataharimu”.
Semua imaji ini membangun atmosfer puitis yang kuat, menghadirkan suasana sepi dan gamang namun tetap penuh makna.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – “tidurku menjadi semacam laut tak bergelombang” (tidur sebagai simbol ketenangan yang justru terasa hampa).
- Personifikasi – “air mata yang tergenang di pipi mataharimu” (matahari diberi sifat manusia).
- Hiperbola – “kecemasanmu menggenggam badai” (kecemasan digambarkan begitu besar hingga setara dengan badai).
- Simbolik – gerimis, subuh, laut, dan perahu melambangkan perjalanan batin, kesedihan, dan harapan.
Puisi "Mendengarkan Gerimis Sebelum Subuh" karya Tri Astoto Kodarie adalah karya yang memadukan suasana sunyi dengan simbol-simbol alam untuk menggambarkan kegelisahan batin manusia. Tema kecemasan dan kerinduan hadir kuat, namun selalu disertai harapan akan pertemuan dan kelahiran baru. Imaji yang hidup serta majas yang tajam menjadikan puisi ini refleksi puitis tentang perjalanan manusia dalam menghadapi gelap dan menanti terang.
Puisi: Mendengarkan Gerimis Sebelum Subuh
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
