Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tembang Tengah Hari (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Tembang Tengah Hari" karya Abdul Wachid B. S. menekankan bahwa cinta pada negeri bukanlah sebatas ucapan, melainkan diwujudkan dalam kerja ...
Tembang Tengah Hari

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang menuju jalan pulang
Sedang ia masih tinggal di pematang
Pergantian musim hampir panen
Sedang angin pegunungan nyebar wangi kembang kopi
Sesuatu yang mengingatkan akan seorang yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Pandangan ke sudut dusun, membuka lipatan sejarah
"Ah, dia mati muda," gumamnya
Tapi tidak! pikirnya
Apa yang mempertahankan kesucian kesetiaan dan
Hati nurani, dapat dikata mati?
Dia cahaya, yang bersama para syahid
Menjelma matahari kemerdekaan
Merdeka dari penindasan kefitrian manusia
Dia istri, ibu anaknya
Dia terbaring kembali berpeluk ke asal debu
Lantaran tangan sekelompok iblis, pesta-pora
Atas semu kemenangannya, September yang darah

Maka lelaki berambut keperakan itu bertahan
Di sini, dusun yang disuburkan kenangan
Yang sakit ketika dirasa
Tapi nikmat saat mata sejarah membacanya
Sekalipun ini bukan tanah kelahiran
Hanya lintasan pengungsi saat perang
Tapi waktu Merah Putih dinaikkan
Ia kibarkan setiang penuh di sini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Sesuatu yang mengingatkan nama yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Cinta pada negeri hati nurani adalah cinta yang kerja
Mulanya ia sendiri, memasang bambu-bambu itu
Dari pancuran sana ke rumah
Agar tak tersia artinya air tanah
Mulanya kaum dusun cuma memandang
Tapi setelah tahu hasilnya, mereka pun
Tak ketinggalan, seperti seekor bangau terbang
Seribu yang lain mengikut melanglang

Cinta pada ibu anaknya yakni kasih yang bertahan
Di pegunungan ini. Ia pun turut sujud bila
Malamhari pendar warna kota di bawah sana
Menyemburatkan pelangi masadepan negeri
Sedang baginya cukuplah di sini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Di bawah rembulan dan matahari
Sebab semua tanah hakikatnya sama
Tanah negeri hati nurani

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang mulai kembali kerja
Sedang yang bersiap sembahyang di pematang
Siapakah ia?
Lurah Usmuni yang sederhana
Kaum dusun bangga menyebutnya "Bapak"
Sedang angin pegunungan masih mainan wangi
Kembang kopi. Tak merasa ada bocah mendekat
Dengan kendi dan bungkusan nasi

"Kakek melamunkan siapa? Nenek, ya?"

Yang disebut terperanjat, tapi
Usai hening sejurus, si bocah pun turut memandang
Ke sudut dusun sembari tanya, "Kek,
Siapa asli nama Nenek, kapan meninggalnya?"

"Hanya jasad yang mati, Nak
Jiwanya nyala abadi sebagai cahaya Indonesia
Dan bukan kebetulan Nenek bernama Pertiwi
Ya. Ibu-Pertiwi tak akan pernah padam cahaya!"

1992

Analisis Puisi:

Puisi "Tembang Tengah Hari" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya yang sarat makna historis, emosional, sekaligus reflektif. Melalui sosok seorang petani yang melamun di pematang sawah, penyair menghadirkan kisah tentang kehilangan, cinta tanah air, dan nilai pengorbanan yang abadi. Puisi ini tidak hanya menampilkan gambaran kehidupan dusun yang sederhana, tetapi juga menghubungkannya dengan sejarah perjuangan bangsa.

Tema

Tema utama puisi ini adalah cinta tanah air dan penghormatan terhadap pengorbanan. Penyair menekankan bahwa cinta pada negeri bukanlah sebatas ucapan, melainkan diwujudkan dalam kerja nyata, ketulusan, serta kesediaan mempertahankan harkat kemanusiaan meskipun harus menanggung duka dan kehilangan.

Puisi ini bercerita tentang seorang petani yang tengah melamun di pematang sawah pada tengah hari. Ia mengenang sosok istri yang gugur secara tragis akibat kekejaman sekelompok orang. Sosok istri yang bernama Pertiwi itu tidak hanya dimaknai sebagai pasangan hidup, melainkan juga sebagai simbol tanah air, Indonesia. Dalam lamunannya, sang petani mengaitkan kenangan pribadi dengan semangat perjuangan bangsa, mengingat pengorbanan para syahid, serta menegaskan bahwa jiwa yang berkorban demi kemerdekaan akan tetap hidup sebagai cahaya abadi.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa pengorbanan demi kebenaran dan tanah air tidak pernah sia-sia. Meski tubuh jasmani dapat binasa, semangat dan jiwa para pejuang akan terus hidup dalam sejarah dan ingatan kolektif bangsa. Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan bahwa cinta pada negeri sejatinya diwujudkan melalui kerja keras, kepedulian sosial, dan keteguhan hati untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini bernuansa melankolis, khidmat, sekaligus heroik. Ada rasa duka ketika mengenang seorang istri yang gugur muda, tetapi juga ada kebanggaan dan semangat ketika mengenang perjuangannya yang abadi. Suasana menjadi reflektif ketika tokoh utama berbicara tentang kerja nyata, serta berubah haru ketika cucunya bertanya polos tentang nenek yang sudah tiada.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa cinta tanah air dan cinta keluarga adalah dua hal yang saling melengkapi. Keduanya menuntut pengorbanan, ketulusan, dan kesetiaan. Pengorbanan seorang ibu yang bernama Pertiwi dilambangkan sebagai simbol bahwa tanah air adalah sesuatu yang harus terus dijaga, meski harus ditebus dengan darah dan air mata. Selain itu, penyair juga menekankan bahwa kerja keras dan kebersamaan dalam membangun dusun adalah wujud nyata cinta pada negeri.

Imaji

Imaji yang ditampilkan dalam puisi ini begitu kuat, misalnya:
  • Visual: "angin pegunungan nyebar wangi kembang kopi", "dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata", "bangau terbang, seribu yang lain mengikut melanglang". Imaji ini menghadirkan pemandangan pedesaan sekaligus atmosfer perjuangan.
  • Auditif: "gumamnya", "mata sejarah membacanya", memberikan kesan suara batin dan refleksi mendalam.
  • Kinestetik: "memasang bambu-bambu itu", "kaum dusun cuma memandang, tapi setelah tahu hasilnya mereka pun turut", menggambarkan gerak nyata dalam kehidupan masyarakat dusun.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “dusun yang disuburkan kenangan”, “mata sejarah membacanya”, memberi sifat hidup pada benda tak bernyawa.
  • Metafora: Sosok istri yang bernama Pertiwi jelas dimetaforakan sebagai simbol tanah air Indonesia.
  • Hiperbola: “Jiwanya nyala abadi sebagai cahaya Indonesia” — melebih-lebihkan untuk menekankan keabadian semangat perjuangan.
  • Simbolisme: “Merah Putih dinaikkan” melambangkan perjuangan dan kemerdekaan.
Puisi "Tembang Tengah Hari" karya Abdul Wachid B. S. adalah sebuah karya yang memadukan antara kisah personal dan sejarah kolektif bangsa. Ia menampilkan duka seorang petani, sekaligus harapan dan semangat perjuangan yang abadi. Melalui simbol Pertiwi, penyair menegaskan bahwa tanah air adalah bagian dari jiwa yang tak pernah padam, meski tubuh jasmani telah kembali ke tanah. Puisi ini bukan hanya refleksi personal, tetapi juga seruan moral agar kita memahami cinta tanah air sebagai kerja, pengorbanan, dan ketulusan.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Tembang Tengah Hari
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.