Di tengah hiruk-pikuk politik dan arus besar kesetaraan gender, satu pertanyaan masih sering menggema, yaitu apakah perempuan benar-benar telah bebas dari bayang-bayang patriarki? Meski dunia tampak lebih terbuka, banyak perempuan masih harus menegosiasikan ruangnya baik dalam sistem sosial, agama, dan politik yang cenderung masih bias terhadap maskulin.
Namun, seiring perubahan zaman, suara perempuan mulai terdengar lebih nyaring. Di ruang politik, kampus, hingga media sosial, mereka berbicara tentang keadilan, kebebasan, dan hak yang sama untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Gerakan ini bukan semata-mata tentang menyaingi laki-laki, tetapi tentang “kemanusiaan yang sesungguhnya” karena pada dasarnya, perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan untuk menjadi manusia yang merdeka, dan tentu seharusnya memiliki hak yang sama pula.
Sejak reformasi, wacana kesetaraan gender memang semakin sering terdengar di Indonesia. Namun, di balik peningkatan partisipasi perempuan di parlemen dan dunia kerja, masih terlihat ketimpangan yang nyata.
Budaya patriarki, tafsir agama yang bias dan sistem politik yang masih membawa-bawa maskulinitas sering menjadi batu sandungan bagi perempuan untuk tampil di ruang publik. Nila Sastrawati dalam bukunya Laki-Laki dan Perempuan Identitas yang Berbeda: Analisis Gender dan Politik Perspektif Post-Feminisme (2018), mencatat bahwa politik sering dianggap sebagai “wilayah laki-laki”, dan digambarkan dengan karakter yang agresif, mandiri, yang selama ini jarang dilekatkan pada perempuan.
Lebih jauh lagi, dalam praktik politik, “agama” sering dijadikan alasan untuk membatasi peran perempuan. Fatwa bahwa “pemimpin harus laki-laki” adalah contoh nyata bagaimana tafsir agama digunakan untuk meneguhkan kekuasaan patriarki. Di sinilah feminisme berperan sebagai alat pembebasan, bukan untuk menyaingi laki-laki, tetapi untuk menuntut pengakuan bahwa perempuan juga manusia utuh dengan hak yang sama.
Feminisme, menurut Nila Sastrawati, bukan sekadar gerakan sosial, melainkan kesadaran untuk menolak penindasan dan ketidakadilan berbasis gender. Dalam sejarahnya, feminisme berkembang melalui berbagai gelombang dan teori. Mulai dari feminisme liberal yang menuntut kesetaraan hak, feminisme radikal yang menggugat struktur patriarki, hingga feminisme Islam yang mencari keadilan dalam nilai-nilai religius.
Namun, yang menarik adalah munculnya post-feminisme pandangan yang tidak lagi hanya berbicara tentang “kesamaan”, tetapi juga tentang “perbedaan dan identitas”. Post-feminisme menolak pandangan bahwa semua perempuan memiliki pengalaman yang sama. Ia menegaskan bahwa menjadi perempuan berarti beragam, dengan maksud bahwa ada perempuan religius, urban, tradisional, intelektual, hingga pekerja rumah tangga yang semuanya valid dalam memperjuangkan eksistensinya masing-masing.
Dalam konteks politik, Nila menyebut bahwa kekuasaan tidak selalu dimaknai sebagai “mendominasi” saja, melainkan juga sebagai ruang negosiasi. Di sinilah muncul konsep “libido kekuasaan”, yakni dorongan manusia (baik laki-laki maupun perempuan) untuk berpartisipasi dan berpengaruh dalam kehidupan sosial. Post-feminisme melihat bahwa perempuan juga memiliki hak untuk menyalurkan “libido kekuasaannya” sebagai ekspresi dari kemampuan dan kepemimpinan perempuan.
Pandangan ini menarik karena berbeda dari feminisme klasik yang menolak segala bentuk simbol keperempuanan. Post-feminisme justru mengajak perempuan untuk merayakan feminimnya dengan menjadikannya kekuatan, bukan kelemahan. Perempuan boleh lembut sekaligus tegas, beriman sekaligus kritis, dan berpolitik tanpa kehilangan jati dirinya.
Perjalanan panjang feminisme hingga post-feminisme mengajarkan bahwa perjuangan perempuan bukan semata soal kesamaan saja, tetapi juga soal pengakuan terhadap keberagaman identitas. Indonesia yang kaya budaya dan sangat religius, pendekatan feminisme yang sensitif terhadap nilai-nilai lokal menjadi sesuatu yang sangat penting.
Feminisme Islam, misalnya, menegaskan bahwa ajaran Al-Qur’an sebenarnya telah mengakui kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Nila mengutip ayat-ayat seperti An-Nahl [16]:97 dan Al-Ahzab [33]:35 yang menegaskan bahwa pahala dan kemuliaan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh keimanan dan amal ibadah seseorang.
Dengan demikian, post-feminisme tidak memusuhi agama, melainkan mengajak kita untuk menafsirkan ulang nilai-nilai keadilan yang tentunya lebih manusiawi. Perempuan tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi sebagai manusia pada umumnya aktif yang mampu berpikir, memutuskan, dan memimpin sama halnya seperti laki-laki.
Keadilan gender, kata Nila, hanya bisa terwujud bila masyarakat berhenti memandang perempuan melalui stereotip yang lemah, emosional, atau tidak layak memimpin. Sebaliknya, kita perlu membangun budaya politik yang di mana keberanian perempuan bukan dianggap ancaman, melainkan bagian dari kemajuan bangsa.
Feminisme telah membawa perempuan menyadari bahwa suara mereka berharga. Post-feminisme kemudian datang untuk mengingatkan bahwa perjuangan tidak berhenti pada “kesetaraan hak”, tetapi juga pada pengakuan atas perbedaan dan identitas diri.
Menjadi perempuan hari ini berarti menjadi reflektif untuk tahu kapan harus lembut, kapan harus tegas dan tahu kapan harus mendengarkan, kapan harus berbicara. Dunia yang lebih adil bukan berarti dunia tanpa perbedaan, tetapi dunia di mana setiap perbedaan harus dihormati.
Mungkin benar, perjuangan perempuan tidak akan pernah selesai, karena yang diperjuangkan bukan hanya posisi, tetapi juga cara pandang mereka. Selama perempuan masih dinilai dari “bagaimana ia seharusnya”, bukan “siapa ia sebenarnya”, maka feminisme tetap relevan sampai kapanpun.
Dan mungkin inilah saatnya bagi kita semua para laki-laki maupun perempuan untuk melihat bahwa keadilan gender bukan milik satu pihak. Ia adalah perjuangan bersama menuju kemanusiaan yang seutuhnya.
Biodata Penulis:
Hasbi Witir saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, di Universitas Andalas.