Analisis Puisi:
Puisi “Stansa yang Hitam-Putih” karya Herman RN adalah cerminan getir kehidupan sosial dan politik di Indonesia, yang disampaikan dengan gaya realis dan penuh sindiran tajam. Melalui larik-larik yang padat imaji dan simbol, penyair menghadirkan potret kemiskinan, ketidakadilan, dan kemunafikan dalam sistem sosial yang penuh janji namun minim tindakan nyata.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ironi moral bangsa. Penyair menyoroti kontras antara kata-kata indah yang diucapkan para pemimpin (stansa yang hitam-putih) dengan kenyataan pahit yang dialami rakyat kecil. Tema ini menggambarkan jurang antara idealisme dan realitas, antara pidato moral dan penderitaan sosial.
Puisi ini bercerita tentang keadaan sosial masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan dan kepura-puraan moral di tengah bangsa yang penuh janji kosong. Melalui pengamatan tajam, penyair menggambarkan berbagai adegan—dari orang miskin yang kehilangan kaki karena zaman, ibu yang merebus batu karena tak punya makanan, hingga anak-anak yang menangis kelaparan.
Sementara itu, di sisi lain, ada “kursi yang diperebutkan” dan “dasi yang digadaikan”—simbol dari perebutan kekuasaan dan korupsi moral di kalangan elit. Semua ini disandingkan dengan “stansa yang hitam-putih”, yakni kata-kata indah yang disuarakan di berbagai tempat ibadah, sekolah, dan pasar, namun belum diwujudkan dalam tindakan.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap hipokrisi bangsa—terutama mereka yang berkuasa dan kerap menjual kata-kata indah tanpa perubahan nyata. “Stansa yang hitam-putih” melambangkan retorika politik dan moral yang kontradiktif, indah di permukaan namun kosong makna dalam realitas.
Selain itu, puisi ini menyiratkan keputusasaan rakyat kecil yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, sementara elit sibuk dengan simbol-simbol kekuasaan. Herman RN mengingatkan pembaca bahwa bangsa ini sering terjebak dalam siklus pidato dan janji, bukan tindakan nyata untuk kesejahteraan rakyat.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini kelam, getir, dan penuh keprihatinan sosial. Penyair menulis dengan nada muram namun tajam, seolah menyaksikan langsung penderitaan manusia di tengah dunia yang pura-pura peduli. Di balik larik-lariknya, terasa kelelahan dan keputusasaan terhadap bangsa yang terus mengulang kesalahan.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji konkret dan simbolis:
- “Yang membujur itu belum kaku” – menggambarkan seseorang yang masih hidup dalam penderitaan, seolah mati suri dalam kemiskinan.
- “Yang melata itu bukan ular” – imaji kuat tentang manusia yang direndahkan oleh keadaan hingga kehilangan martabat.
- “Kutatap ibunya sedang merebus batu di tungku yang tak ada api” – gambaran paling menyayat dari kemiskinan ekstrem, simbol kelaparan dan keputusasaan.
- “Kursi diperebutkan, dasi digadaikan” – imaji politik dan moralitas yang bobrok, menggambarkan kerakusan dan kemunafikan elite.
Imaji-imaji ini menyatukan dua dunia yang kontras: dunia kemiskinan rakyat dan dunia kemewahan yang penuh sandiwara politik.
Majas
Beberapa majas yang tampak menonjol antara lain:
- Metafora: “Stansa yang hitam-putih” melambangkan pidato moral atau janji politik yang terlihat indah tapi penuh ironi.
- Personifikasi: “Yang beriak itu bukan air, ia yang sedang mencari jati diri di atas sedekah si miskin” memberi kehidupan pada benda mati untuk memperkuat kesan kegelisahan sosial.
- Sarkasme: “Aku menonton iringan pidato yang tak diperlombakan” menyindir pidato kosong yang tak memberi manfaat bagi rakyat.
- Ironi: Tempat-tempat suci (gereja, pura, wihara, masjid) disebut sebagai tempat lantunan “stansa”, namun yang terjadi di luar tetap penuh penderitaan—sebuah sindiran terhadap kemunafikan moral kolektif.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah seruan untuk menyadari ketimpangan sosial dan menghentikan kemunafikan kolektif bangsa. Penyair ingin membuka mata pembaca bahwa bangsa ini masih terjebak dalam “stansa yang hitam-putih”—janji manis tanpa perbuatan, ibadah tanpa empati, kebijakan tanpa keadilan.
Puisi ini juga menegaskan bahwa kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kemiskinan moral dan nurani.
Selama bangsa masih sibuk berbicara tanpa bertindak, khutbah sosial itu akan tetap “belum usai.”
Puisi “Stansa yang Hitam-Putih” karya Herman RN merupakan potret tajam tentang ironi sosial dan moral bangsa. Melalui diksi-diksi yang realistik, penyair menggugat kemunafikan sosial dan mengingatkan bahwa penderitaan rakyat bukan sekadar berita, melainkan kenyataan yang harus dihadapi bersama.
Dengan perpaduan imaji kemiskinan dan sindiran terhadap retorika kekuasaan, Herman RN menghadirkan puisi yang mengguncang kesadaran — mengajak pembaca merenung: apakah kita masih terjebak dalam stansa yang hitam-putih, atau sudah berani menulis bait baru bagi bangsa yang lebih adil?
Puisi: Stansa yang Hitam-Putih
Karya: Herman RN
Karya: Herman RN
Biodata Herman RN:
- Herman RN lahir pada tanggal 20 April 1983 di Kluet, Aceh Selatan.
