Analisis Puisi:
Puisi “Angin Telah Kembali” memiliki tema utama tentang kehilangan, perpisahan, dan kepasrahan terhadap waktu yang terus berjalan. Melalui citra angin, gerimis, dan lorong malam, penyair mengungkapkan pergulatan batin seseorang yang telah menyadari berakhirnya sebuah fase kehidupan — entah masa muda, cinta, atau harapan yang dulu pernah hidup dalam diri.
Tema ini juga menyiratkan renungan eksistensial tentang kefanaan dan siklus alam: bahwa segala yang datang akan pergi, segala yang berhembus akhirnya akan kembali ke semesta. “Angin” dalam konteks ini bukan sekadar gejala alam, melainkan simbol dari perjalanan hidup, dari hasrat yang sempat bergerak, hingga akhirnya reda dan pulang kepada keheningan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang masa lalu dan menyadari bahwa waktu telah menghapus banyak hal yang dulu indah. Dalam bait pertama, penyair menulis:
“ke arah mana kini angin berhembus entah sampai dimana lelayang sanggup terbang tak tahu gerimis telah mewarnai hari usai sudah segala mimpi masa bocah tak satu pun mampu direguk dari bumbung waktu”
Bagian ini menggambarkan seseorang yang merenung tentang arah hidupnya. “Angin” yang dulu membawa semangat kini tak tentu arah, “lelayang” (layang-layang) yang dulu terbang tinggi kini mungkin jatuh, dan “mimpi masa bocah” telah usai tanpa bisa kembali. Semua itu adalah metafora dari berakhirnya masa muda dan cita-cita yang dulu begitu cerah.
Selanjutnya, penyair menulis:
“suara sunari makin menjauh usai pula percakapan di bawah temaram bulan”
“Sunari” di sini dapat dipahami sebagai nama seseorang atau lambang kenangan. Larik ini menandakan perpisahan yang sudah tak dapat dihindari. Bahkan saat “kau masih rindu melantunkan selarik sajak,” irama dalam jiwa “telah mati rasa.” Artinya, meski masih ada kenangan dan keinginan untuk mengulang masa indah, perasaan itu sudah pudar dan tak hidup lagi seperti dulu.
Puisi ditutup dengan kalimat penuh keteguhan:
“jadi baiknya kita sudahi permainan angin telah kembali ke dalam jiwa semesta”
Inilah titik kesadaran penuh: penyair mengajak dirinya (dan mungkin juga orang lain) untuk mengakhiri keterikatan pada masa lalu. Segala sesuatu telah selesai, dan kini saatnya menerima bahwa semuanya kembali ke asalnya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran akan kefanaan hidup dan pentingnya menerima akhir dari setiap perjalanan. Wayan Jengki Sunarta tampaknya ingin menegaskan bahwa tidak ada yang abadi: masa muda, cinta, kenangan, dan bahkan gairah kreatif suatu ketika akan mereda.
Namun, di balik kesedihan itu, tersimpan makna spiritual: bahwa semua hal yang pergi sejatinya tidak benar-benar hilang, melainkan kembali menjadi bagian dari semesta. “Angin telah kembali ke dalam jiwa semesta” adalah simbol dari keterhubungan antara manusia dan alam, antara kehidupan dan kehampaan, antara awal dan akhir.
Puisi ini juga bisa dibaca sebagai renungan seorang penyair terhadap perjalanannya sendiri — mungkin tentang semangat berkarya, tentang rindu yang mulai pudar, atau tentang kesadaran bahwa inspirasi dan waktu adalah sesuatu yang datang dan pergi silih berganti.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, tenang, dan kontemplatif. Dari awal hingga akhir, suasana dilingkupi oleh kesunyian dan kepasrahan. Kata-kata seperti gerimis, temaram bulan, lorong malam, dan mati rasa membentuk lanskap emosional yang lembut namun getir.
Tidak ada kemarahan atau penyesalan yang meledak, hanya perasaan tenang dalam kehilangan — seperti seseorang yang akhirnya berdamai dengan waktu. Kesedihan dalam puisi ini bukan kesedihan yang mengoyak, melainkan kesedihan yang sudah matang menjadi kebijaksanaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah ajakan untuk menerima setiap perubahan dan akhir dengan lapang hati, karena hidup adalah perjalanan yang penuh datang dan pergi. Segala sesuatu memiliki waktunya: ada masa tumbuh, masa berbunga, dan masa gugur. Ketika semua telah usai, tidak ada yang perlu ditangisi, sebab semuanya akan “kembali ke dalam jiwa semesta.”
Pesan lain yang bisa ditangkap adalah pentingnya menyadari nilai waktu dan makna kenangan. Apa yang dulu indah tidak perlu disesali ketika hilang; cukup dikenang sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa kita sekarang.
Dengan kata lain, penyair ingin menyampaikan kebijaksanaan untuk berhenti berpegang pada masa lalu, dan mengizinkan diri untuk tenang dalam arus kehidupan yang terus berputar.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan suasana batin yang berpadu harmonis, menciptakan efek visual sekaligus emosional yang kuat:
Imaji visual:
- “gerimis telah mewarnai hari” → membangkitkan gambaran hujan lembut yang melukis kesedihan.
- “temaram bulan” → menggambarkan cahaya redup yang menandakan malam perpisahan.
- “ujung lorong malam” → menciptakan visual ruang sunyi dan panjang yang membawa pembaca pada rasa sepi dan refleksi.
Imaji auditif:
- “suara sunari makin menjauh” → menghadirkan kesan suara yang perlahan hilang, seolah menggambarkan kenangan yang memudar.
Imaji batin:
- “irama dalam jiwa telah mati rasa” → menggambarkan kehampaan batin, di mana perasaan sudah tak lagi bergetar oleh hal-hal yang dulu menggugah.
Imaji-imaji ini menyatu dalam lanskap melankolis, menjadikan puisi ini terasa seperti lukisan senja yang pudar perlahan.
Majas
Wayan Jengki Sunarta menggunakan sejumlah majas (gaya bahasa) yang memperkuat daya puitis dan kedalaman makna puisi ini:
- Majas Personifikasi: “angin telah kembali ke dalam jiwa semesta” → Angin dipersonifikasikan sebagai makhluk hidup yang memiliki kesadaran untuk pulang, seolah ia memiliki perjalanan spiritual sendiri.
- Majas Metafora: “lelayang sanggup terbang”, “bumbung waktu”, “lorong malam” → Semua ini adalah metafora kehidupan, waktu, dan perjalanan batin manusia.
- Majas Simile (perbandingan implisit): Tidak muncul secara langsung, tetapi terasa dalam perbandingan antara angin dan jiwa manusia — keduanya bergerak bebas, namun selalu kembali ke asal.
- Majas Hiperbola: “irama dalam jiwa telah mati rasa” → Bentuk penguatan perasaan untuk menunjukkan betapa dalamnya kelelahan batin yang dirasakan.
- Majas Eufemisme: “jadi baiknya kita sudahi permainan” → Kalimat yang halus untuk menyampaikan akhir dari sesuatu — entah hubungan, perjalanan, atau kehidupan itu sendiri.
Dengan majas-majas tersebut, puisi ini tidak hanya berfungsi sebagai curahan perasaan, tetapi juga sebagai meditasi puitik yang menyentuh dimensi filosofis.
Puisi “Angin Telah Kembali” karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya yang memadukan keindahan bahasa dan kedalaman makna. Dengan tema kehilangan dan kepasrahan, puisi ini menghadirkan refleksi eksistensial tentang perjalanan hidup yang harus berakhir, tentang cinta yang memudar, dan tentang waktu yang tak dapat diputar kembali.
Lewat imaji alam yang halus, suasana melankolis, dan majas simbolik, penyair mengajak pembaca untuk merenungi makna “kembali” — bukan sebagai kehilangan, tetapi sebagai bentuk penyatuan dengan semesta.
Pesan puisi ini begitu lembut namun kuat: Bahwa setiap yang berhembus akan reda, setiap yang datang akan pergi, dan setiap yang hidup akan kembali — seperti angin yang pulang ke dalam jiwa semesta.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
