Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Armend, Kenapa Ada Newton dan Hawking? (Karya Kinanthi Anggraini)

Puisi “Armend, Kenapa Ada Newton dan Hawking?” karya Kinanthi Anggraini mengangkat tema tentang pergulatan eksistensial manusia di tengah sains, kenan
Armend, Kenapa Ada Newton dan Hawking?

Armend, apa kau ingat?
derka peluit panjang abad Newton
membekukan air nata di pipi basah
menjadi tangan dari jendela di jantung
telanjang di depan kaca
dan menjadi bibir panas yang mabuk
galaksi pesona

Armend, saat itu Hawking datang bersama kita
menyibak gordin
meledakkan dunia berupa mesin raksasa
rahasia pelik dibebankan peradaban
masa kecilmu
seperti bayi di sudut sempit tubuh
juga serupa getaran mengerikan yang lupa
kujemput

Armend, di manakah aku harus memasang ukiran kelam
yang berangsur tenggelam menjadi debu?
Newton dan Hawking sepakat tak mau bicara
keduanya menempel di udara

padahal aku ingin bertemu menangis di rambutmu
dan hanyut

Garut, Januari 2015

Analisis Puisi:

Puisi “Armend, Kenapa Ada Newton dan Hawking?” karya Kinanthi Anggraini mengangkat tema tentang pergulatan eksistensial manusia di tengah sains, kenangan, dan kehilangan. Penyair menggunakan dua nama besar dalam sejarah ilmu pengetahuan — Isaac Newton dan Stephen Hawking — bukan semata sebagai tokoh ilmuwan, tetapi sebagai simbol pengetahuan, rasionalitas, dan keteraturan semesta, yang dihadapkan pada perasaan manusiawi: cinta, duka, dan kenangan.

Tema besar yang muncul adalah pertentangan antara logika sains dan emosi manusia, antara keinginan untuk memahami dunia melalui hukum-hukum alam dan kebutuhan untuk merasakan dunia melalui cinta dan kehilangan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berbicara kepada “Armend”, sosok yang tampaknya mewakili kenangan atau seseorang yang pernah dekat dengannya. Penyair mengajak Armend menelusuri kembali masa lalu — masa yang diwarnai oleh kehadiran “Newton” dan “Hawking” sebagai simbol keilmuan dan misteri semesta. Namun, di balik kehadiran dua nama itu, tersimpan kerinduan yang tidak terjelaskan.

Baris pertama,

“Armend, apa kau ingat? derka peluit panjang abad Newton membekukan air nata di pipi basah”

menggambarkan nostalgia pada masa ketika ilmu pengetahuan dan kehidupan emosional bertemu dalam satu ruang. Newton di sini seolah mewakili hukum alam yang dingin dan teratur — “membekukan air nata di pipi basah” — metafora dari tangisan yang kaku, emosi yang tertahan.

Sementara itu, Hawking muncul dengan nuansa kosmis dan modern:

“Hawking datang bersama kita, menyibak gordin, meledakkan dunia berupa mesin raksasa”

menandakan ledakan kesadaran, kemajuan teknologi, atau bahkan ledakan batin yang menandai perubahan besar dalam kehidupan si aku lirik dan Armend.

Puisi ini pada dasarnya bercerita tentang pencarian makna di tengah sains dan cinta, tentang bagaimana manusia hidup di antara pengetahuan rasional yang membatasi dan perasaan emosional yang meluap.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini tidak hanya filosofis, tetapi juga eksistensial. Kinanthi Anggraini menghadirkan Newton dan Hawking sebagai lambang dua sisi manusia modern: akal dan rasa.

Newton, dengan teori gravitasinya, melambangkan keteraturan dan hukum sebab-akibat. Hawking, dengan gagasan tentang lubang hitam dan asal-usul semesta, melambangkan ketakpastian dan misteri.
Sementara itu, “aku” dan “Armend” adalah dua manusia kecil yang berusaha memahami diri mereka sendiri di tengah besarnya semesta yang mereka tempati.

Makna tersirat yang muncul adalah bahwa sehebat apa pun manusia memahami hukum alam, ia tetap tidak dapat menjelaskan perasaan. Cinta, kehilangan, dan kerinduan tidak tunduk pada gravitasi atau teori relativitas.

Puisi ini menegaskan bahwa sains dan cinta sama-sama berbicara tentang pencarian kebenaran, namun dengan bahasa yang berbeda — yang satu melalui rumus, yang lain melalui air mata.

Baris terakhir,

“padahal aku ingin bertemu menangis di rambutmu dan hanyut”

menunjukkan keinginan manusia untuk kembali pada sisi paling lembut dan personal, setelah lama tersesat di antara teori dan mesin dunia.

Makna tersiratnya: pengetahuan tak akan pernah cukup tanpa kasih.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini penuh melankolia dan kebingungan batin. Ada nuansa sedih, nostalgik, dan sedikit surealis. Penyair menciptakan suasana yang seperti berada di antara mimpi dan realitas, di mana Newton dan Hawking bisa hadir “menyibak gordin” dan “meledakkan dunia berupa mesin raksasa.”

Nada suaranya lembut tetapi getir. Pembaca diajak merasa seperti berada di laboratorium semesta tempat ilmu pengetahuan dan kenangan bercampur menjadi satu — indah, tapi juga menyesakkan.

Imaji

Kinanthi Anggraini menampilkan imaji-imaji kuat yang berpadu antara sains, tubuh, dan emosi. Beberapa contoh imaji menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Imaji visual: “derka peluit panjang abad Newton membekukan air nata di pipi basah” menggambarkan waktu yang beku, air mata yang terhenti oleh dinginnya hukum alam — simbol perasaan yang tertahan oleh logika.
  • Imaji tubuh: “menjadi tangan dari jendela di jantung telanjang di depan kaca” menghadirkan citra tubuh yang terbuka, rapuh, dan reflektif. Kaca menjadi lambang kesadaran diri.
  • Imaji kosmis: “Hawking datang bersama kita, menyibak gordin, meledakkan dunia berupa mesin raksasa” menghadirkan gambaran tentang penciptaan, teknologi, dan kedahsyatan semesta yang disandingkan dengan kelembutan manusia.
  • Imaji debu dan udara: “ukiran kelam yang berangsur tenggelam menjadi debu” serta “menempel di udara” menandakan kefanaan dan keabadian sekaligus — bahwa kenangan manusia bisa menguap namun tetap membekas.
Imaji-imaji tersebut bekerja sebagai simbol pertemuan antara dunia rasional dan emosional, antara realitas ilmiah dan keindahan puitik.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas simbolik, metafora, dan personifikasi yang menciptakan lapisan makna dalam setiap baris. Beberapa majas yang menonjol antara lain:

Metafora:
  • “peluit panjang abad Newton” melambangkan zaman modern yang tunduk pada hukum sains dan mekanika.
  • “Hawking datang bersama kita” adalah metafora dari kesadaran manusia modern yang dikuasai mesin dan teknologi.
Personifikasi:
  • “Newton dan Hawking sepakat tak mau bicara” — memberikan sifat manusia pada dua simbol pengetahuan, seolah mereka pun bungkam di hadapan misteri perasaan.
Simbolisme:
  • “Debu”, “udara”, dan “rambut” menjadi simbol kefanaan dan kenangan yang tak terjamah logika.
Antitesis:
  • Pertentangan antara sains (Newton dan Hawking) dengan rasa (aku dan Armend) memperkuat ketegangan batin dalam puisi.
Kinanthi menulis dengan gaya yang padat dan simbolik, sehingga setiap citra membawa resonansi filosofis. Ia tidak menjelaskan, melainkan mengundang pembaca untuk menafsirkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang tersirat dari puisi ini adalah bahwa pengetahuan tidak pernah cukup untuk menjelaskan kompleksitas manusia. Manusia bisa menembus ruang dan waktu, meneliti bintang dan materi gelap, tetapi tetap tidak mampu memahami seluruh misteri cinta, kehilangan, dan kerinduan.

Puisi ini juga menyampaikan pesan tentang keterbatasan rasio di hadapan emosi. Newton dan Hawking, dua simbol kejayaan ilmu pengetahuan, “sepakat tak mau bicara” ketika dihadapkan pada keheningan dan duka. Dalam dunia modern yang penuh teknologi dan teori, manusia tetap mencari sesuatu yang tak bisa diukur — kehangatan, kehadiran, kasih.

Selain itu, terdapat amanat spiritual: bahwa di balik peradaban dan sains, manusia harus kembali pada sisi lembut dan penuh kasih, tempat di mana tangisan dan cinta memiliki makna yang tak tergantikan oleh mesin atau teori mana pun.

Kinanthi Anggraini
Puisi: Armend, Kenapa Ada Newton dan Hawking?
Karya: Kinanthi Anggraini

Biodata Kinanthi Anggraini:
    Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.

    Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.

    Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.

    Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).
    © Sepenuhnya. All rights reserved.