Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hitam yang Mulia (Karya Moh Akbar Dimas Mozaki)

Puisi “Hitam yang Mulia” karya Moh Akbar Dimas Mozaki bercerita tentang filosofi di balik warna hitam pada randang, makanan kebanggaan masyarakat ....

Hitam yang Mulia


Warna gelapnya adalah tanda kesempurnaan.
Hitam bukan hangus, tetapi bukti bahwa ia matang dalam kesabaran.
Randang mengajarkan: yang terbaik butuh perjalanan.

12 November 2025

Analisis Puisi:

Tema utama puisi “Hitam yang Mulia” adalah kesabaran dan proses dalam mencapai kesempurnaan hidup, yang diangkat melalui simbol kuliner tradisional Minangkabau: randang. Penyair menjadikan warna hitam pada randang sebagai metafora tentang kematangan dan nilai luhur dalam proses — bahwa sesuatu yang bernilai tinggi tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari waktu, ketekunan, dan kesabaran.

Puisi ini bercerita tentang filosofi di balik warna hitam pada randang, makanan kebanggaan masyarakat Minangkabau yang dimasak perlahan hingga berjam-jam. Bagi penyair, warna hitam itu bukan tanda kegagalan atau kebakaran, melainkan simbol keberhasilan proses yang tuntas.

Puisi ini mengajak pembaca melihat makna mendalam dari hal sederhana — bahwa dalam kehidupan, sebagaimana dalam memasak randang, hasil terbaik hanya bisa diraih lewat kesabaran, ketekunan, dan waktu yang cukup.

Dengan gaya singkat dan padat, penyair menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui citra yang sangat dekat dengan budaya dan keseharian masyarakat Minang.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah perjalanan manusia menuju kematangan spiritual dan moral membutuhkan waktu dan ujian. “Hitam” di sini bukan sekadar warna, tetapi lambang dari hasil akhir yang telah melalui proses panjang — panas, sabar, dan pengendapan rasa.

Penyair menyiratkan bahwa dalam kehidupan, manusia sering kali terlalu cepat menilai sesuatu dari tampilan luar. Namun, seperti halnya randang, sesuatu yang tampak “gelap” justru bisa menyimpan nilai, keharuman, dan kedalaman makna.

Puisi ini mengandung pesan bahwa kemuliaan sejati tidak lahir dari kecepatan, tetapi dari kesetiaan pada proses.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini tenang, penuh refleksi, dan sarat kebijaksanaan. Nada yang digunakan penyair adalah nada merenung, seperti seorang tua bijak yang sedang memberikan nasihat lembut kepada generasi muda.

Puisi ini menciptakan suasana damai dan hangat — menghadirkan aroma dapur tradisional Minang yang dipenuhi kesabaran, sekaligus suasana batin yang tenteram ketika seseorang memahami makna dari proses panjang menuju kematangan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang disampaikan penyair adalah pentingnya menghargai proses dan bersabar dalam menghadapi perjalanan hidup.

Puisi ini mengingatkan bahwa hasil yang sempurna tidak dapat dicapai dengan tergesa-gesa. Sama seperti randang yang harus dimasak lama hingga warnanya hitam pekat, manusia pun perlu waktu dan ujian agar matang dalam pengalaman dan kebijaksanaan.

Selain itu, penyair juga ingin menegaskan bahwa jangan menilai sesuatu dari penampilannya saja — karena yang tampak sederhana atau “gelap” bisa menyimpan makna luhur dan nilai yang tinggi.

Kesabaran, dalam puisi ini, menjadi nilai utama yang menuntun menuju kemuliaan.

Imaji

Puisi ini membangkitkan imaji visual dan sensorik yang kuat. Kata-kata seperti “warna gelapnya”, “hitam bukan hangus”, dan “matang dalam kesabaran” menciptakan bayangan tentang proses memasak randang di dapur, dengan aroma rempah yang pekat dan warna yang semakin gelap seiring waktu.

Imaji ini juga bisa dirasakan secara emosional — pembaca dapat “melihat” warna hitam itu bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai hasil dari ketekunan dan cinta.

Selain itu, frasa “yang terbaik butuh perjalanan” menimbulkan imaji metaforis tentang hidup sebagai jalan panjang yang harus dilalui perlahan, penuh kesabaran.

Majas

Penyair menggunakan majas metafora dan personifikasi dengan indah dan sederhana.
  • Metafora terlihat dalam penggambaran “hitam” sebagai simbol kematangan dan kesempurnaan, bukan sekadar warna fisik. “Randang mengajarkan” juga merupakan metafora bahwa makanan bisa menjadi guru kehidupan.
  • Personifikasi tampak pada kata “Randang mengajarkan”, seolah randang adalah makhluk hidup yang bisa memberi pelajaran moral kepada manusia.
  • Selain itu, terdapat unsur paradoks halus dalam kalimat “Hitam bukan hangus”, yang mempermainkan persepsi umum terhadap warna gelap dan mengubahnya menjadi simbol kebijaksanaan.
Puisi “Hitam yang Mulia” karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah contoh indah bagaimana hal sederhana seperti randang dapat menjadi cermin filosofi hidup. Dengan gaya singkat dan reflektif, penyair menghadirkan makna mendalam tentang kesabaran, proses, dan kematangan yang sejati.

“Hitam” dalam puisi ini bukanlah tanda kehancuran, melainkan warna kemuliaan — hasil dari waktu, ketulusan, dan kerja hati. Seperti randang yang dimasak perlahan hingga sempurna, manusia pun perlu belajar bersabar dalam menempuh perjalanan hidup, karena hanya dengan kesabaranlah kita mencapai rasa yang paling dalam dari kehidupan itu sendiri.

Moh Akbar Dimas Mozaki
Puisi: Hitam yang Mulia
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki

Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
  • Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.