Tuhan Dekat
lintas agama beramai-ramai menyudutkan
yang ini paling benar, nyatanya mencemar
yang itu salah, berulah banyak tingkah
aku menghela nafas panjang
pikiran terbayang terbuang
generasi kita serba instan
ikut kemanapun tanpa desakan
tanpa paksaan
hati yang suci
Tuhan tidak tertukar
hanya ketaqwaan
bersujud pada sajadah iman
Purwakarta, 1 Oktober 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Tuhan Dekat” karya Dzakwan Ali menghadirkan refleksi spiritual sekaligus kritik sosial terhadap fenomena keberagamaan di zaman modern. Dengan bahasa yang lugas namun penuh makna, penyair menyampaikan kegelisahan terhadap mudahnya umat beragama saling menyalahkan, serta dorongan untuk kembali kepada esensi ketakwaan yang murni. Puisi ini menjadi cermin kondisi manusia masa kini yang sering terjebak pada perdebatan identitas, tetapi lupa pada inti ajaran: hati yang suci dan iman yang tulus.
Tema
Tema utama puisi ini adalah krisis moral dan spiritual akibat konflik klaim kebenaran dalam kehidupan beragama, serta ajakan untuk kembali pada ketulusan iman dan ketakwaan. Puisi ini juga memuat tema tambahan berupa kebingungan generasi modern yang terlalu mudah mengikuti arus tanpa pendirian yang kuat.
Puisi ini bercerita tentang kondisi masyarakat yang sering terjebak dalam pertengkaran lintas agama. Masing-masing kelompok merasa paling benar, sehingga bukannya memuliakan ajaran agama, justru mencemari makna spiritual itu sendiri.
Penyair kemudian membawa pembaca pada kegelisahan pribadinya: ia menarik napas panjang, memikirkan generasi yang serba instan, mudah terpengaruh, dan tidak punya keteguhan dalam memilih jalan.
Pada akhirnya, puisi ini mengarahkan pembaca pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak tertukar, dan bahwa inti keberagamaan terletak pada ketakwaan, bukan klaim kebenaran atau konflik yang tidak perlu.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang dapat ditangkap antara lain:
- Konflik antaragama sering disebabkan ego manusia, bukan ajaran Tuhan. Ketika kelompok A merasa paling benar dan kelompok B dianggap salah, sebenarnya yang muncul adalah kesombongan manusia, bukan ketulusan beragama.
- Generasi modern rentan kehilangan arah moral. Ungkapan “generasi kita serba instan / ikut kemanapun tanpa desakan” menyiratkan bahwa anak muda saat ini kurang memiliki pendirian spiritual yang matang.
- Tuhan dekat, dan kebenaran tidak perlu diperebutkan. Baris “hati yang suci / Tuhan tidak tertukar” menunjukkan bahwa Tuhan melihat hati, bukan penampilan atau identitas kelompok.
- Ketaatan sejati bersifat pribadi, bukan pertunjukan sosial. Iman yang benar mengakar pada “bersujud pada sajadah iman,” sebuah simbol ketulusan tanpa perlu pengakuan publik.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang terbangun adalah campuran antara kegelisahan, keprihatinan, dan ketenangan spiritual di akhir puisi.
- Bagian awal menggambarkan suasana gaduh akibat “lintas agama beramai-ramai menyudutkan,” menciptakan atmosfer penuh keributan.
- Bagian tengah menggambarkan kegelisahan penyair.
- Bagian akhir memberikan suasana lebih teduh dan penuh harapan melalui ketakwaan yang murni.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini antara lain:
- Beragama tidak perlu saling menyalahkan—karena setiap manusia bertanggung jawab pada Tuhan, bukan pada kelompok lainnya.
- Hati yang suci dan ketakwaan lebih penting daripada klaim kebenaran.
- Generasi saat ini harus lebih teguh dan tidak mudah mengikuti arus tanpa refleksi diri.
- Kedekatan dengan Tuhan bersifat pribadi, tidak perlu dipamerkan atau dipertentangkan.
Imaji
Beberapa imaji yang muncul:
Imaji visual dan gerak:
- “lintas agama beramai-ramai menyudutkan” — gambaran kelompok besar yang menyerang atau menekan pihak lain.
- “aku menghela nafas panjang” — imaji gerak yang menunjukkan kelelahan emosional.
- “bersujud pada sajadah iman” — imaji religius yang kuat, mencitrakan ketundukan dan ketulusan.
Imaji batin/emosi:
- “pikiran terbayang terbuang” — imaji mental tentang kebingungan dan kehilangan arah.
Majas
Beberapa majas yang dapat ditemukan:
Metafora
- “sajadah iman” — iman diibaratkan sebagai sajadah tempat bersujud, menggambarkan kedalaman spiritual.
Personifikasi
- “pikiran terbayang terbuang” — pikiran digambarkan seolah objek yang dapat dibuang.
Hiperbola
- “beramai-ramai menyudutkan” — memberi kesan tekanan besar atau serangan kolektif, meski mungkin hanya representasi konflik sosial.
Ironi
- “yang ini paling benar, nyatanya mencemar” — menunjukkan kontras antara klaim kebenaran dan tindakan yang justru merusak.
Puisi “Tuhan Dekat” karya Dzakwan Ali tidak hanya mengajak pembaca melihat realitas konflik keberagamaan, tetapi juga mengembalikan perhatian pada inti ajaran: hati yang suci dan ketakwaan. Melalui kritik sosial yang halus, penyair menyampaikan pesan bahwa Tuhan lebih dekat pada mereka yang menjaga hati, dibandingkan mereka yang hanya sibuk mengklaim kebenaran. Sebuah puisi singkat tetapi penuh renungan bagi masyarakat modern yang sering tergelincir dalam pertentangan identitas.
Karya: Dzakwan Ali
Biodata Dzakwan Ali:
- Dzakwan Ali adalah penggagas komunitas Santri Menulis dan pendiri Latar Karya Temulawak. Ia pernah menjabat sebagai Duta Baca Kabupaten Indramayu 2023 serta terpilih sebagai Pemuda Pelopor bidang Seni dan Budaya Indramayu 2024–2025. Aktif sebagai pembaca puisi di berbagai acara, karya-karyanya bisa dijumpai di berbagai media, baik offline maupun online.
- Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya Sejuta Rasa Cinta (J Maestro, Bandung, 2019), Berakit-rakit untuk Bangkit (Bookis, Medan, 2020), Sang Pengabdi (Boepedia, Bogor, 2020), dan Menapaki Jejak-Mu (Gapura Pustaka, Sumenep, 2021).
- Penyair bisa disapa di Instagram @pengedaraksara