Oleh Izzul Islam Imamputro
Di tengah banjirnya konten digital yang serba cepat, singkat, dan penuh visual, mata pelajaran agama sering dianggap kurang menarik. Generasi Z—yang tumbuh bersama TikTok, Reels, dan Shorts—hidup dengan pola informasi yang instan. Mereka lebih akrab dengan video 15 detik daripada ceramah panjang. Mereka juga lebih mudah menyerap pengalaman langsung ketimbang uraian teoretis. Lalu, bagaimana guru Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap bisa hadir dan relevan ketika ruang perhatian siswa semakin terbatas?
Solusinya jelas bukan sekadar “ikut membuat konten TikTok.” Tantangan guru PAI saat ini jauh lebih kompleks: bagaimana menghadirkan nilai-nilai Islam dalam lingkungan yang dikendalikan oleh algoritma? Dan bagaimana mengomunikasikan pesan agama tanpa terkesan menggurui, namun tetap dekat dengan cara berpikir para remaja masa kini?
Cara Baru Gen Z Memahami Agama
Generasi Z dikenal kritis, cepat jenuh, dan kurang menyukai sesuatu yang terlalu formal. Mereka bukan menolak agama, tetapi tidak cocok dengan cara penyampaiannya yang terasa jauh dari keseharian mereka. Metode ceramah yang terlalu satu arah sering menciptakan jarak. Bukan karena materinya tidak penting, tetapi formatnya kurang sesuai dengan gaya belajar mereka.
Sejumlah guru PAI mulai menyesuaikan diri. Mereka melihat bahwa Gen Z belajar lebih cepat melalui tampilan visual, cerita, dan dialog. Mereka membutuhkan kesempatan bertanya, bukan hanya mendengar. Mereka ingin contoh konkret yang relevan dengan kehidupan, bukan teori abstrak yang sulit dibayangkan.
Pendekatan yang paling terasa dampaknya adalah ketika guru mencoba masuk ke lingkungan sehari-hari siswa: dunia digital. Tidak berarti guru harus tampil kocak atau mengikuti tren lipsync, tetapi bagaimana menyampaikan nilai agama dengan gaya yang lebih ringan, singkat, dan mudah dicerna.
Berdasarkan berbagai pengamatan kualitatif di sekolah-sekolah, beberapa strategi guru PAI yang menyesuaikan diri terlihat dari:
- Humor dan analogi kekinian. Misalnya menjelaskan ikhlas sebagai “posting tanpa berharap viral,” atau sabar sebagai “nunggu WiFi hidup saat jaringan mati.”
- Materi dipotong menjadi bagian kecil seperti konten TikTok. Penjelasan 2–3 menit yang tepat sasaran lebih mudah diterima daripada uraian panjang.
- Diskusi santai dan terbuka. Guru berperan sebagai fasilitator, memberi ruang bagi siswa untuk berbagi pandangan tanpa takut salah.
- Koneksi emosional. Guru memulai pelajaran dengan cerita ringan atau pengalaman pribadi yang relevan dengan kehidupan siswa.
- Pemanfaatan video pendek. Video inspiratif atau fenomena viral menjadi pintu masuk menuju materi pembelajaran.
Dengan pendekatan-pendekatan ini, siswa merasa bahwa agama tidak berada di dunia yang berbeda dari realitas digital mereka.
Keteladanan Tetap Menjadi Kekuatan Utama
Walau zaman berubah, keteladanan tetap menjadi “magnet” terbesar. Gen Z peka terhadap ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan. Guru PAI yang membawa pengaruh besar biasanya adalah mereka yang konsisten dalam perilakunya.
Ada guru yang tidak banyak memberikan nasihat, namun sikapnya—cara menyapa, kesabaran menghadapi kelas, disiplin waktu—menjadi pelajaran akhlak yang nyata. Banyak siswa mengaku belajar nilai agama bukan dari materi, tetapi dari sosok guru itu sendiri.
Mengajak Siswa Tanpa Menghakimi
Generasi Z tidak nyaman dengan pendekatan menggurui. Guru PAI yang efektif biasanya lebih mengutamakan empati dan dialog. Ketika siswa lebih tertarik bermain gadget daripada membaca Al-Qur’an, guru tidak langsung menegur keras. Mereka mengajak berbincang terlebih dahulu, memahami alasan siswa, lalu mengarahkan pada keseimbangan waktu. Pendekatan ini membuat siswa lebih terbuka dan merasa dihargai.
PAI di Era TikTok: Soal Koneksi, Bukan Kompetisi
Guru PAI sebenarnya tidak sedang berlomba dengan TikTok. Tujuannya bukan membuat pelajaran agama lebih viral daripada tren digital, tetapi memastikan ajaran Islam tetap bermakna di tengah derasnya arus konten cepat.
Gen Z memang hidup di dunia digital, tetapi mereka tetap membutuhkan pegangan, nilai, dan sosok teladan. Guru PAI menjadi jembatan yang menyatukan nilai Islam dengan kehidupan modern, tanpa memaksakan pendekatan lama.
Di era TikTok ini, mungkin cara terbaik mengajarkan agama adalah menghadirkan nilai yang benar-benar dirasakan, bukan sekadar disampaikan.