Oleh Fakhrun Nisa
Era digital telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia, dan sektor pendidikan tidak terkecuali. Dari ruang kelas yang dulunya terbatas pada papan tulis dan buku cetak, kini pendidikan berkembang menjadi ekosistem pembelajaran yang luas, didukung oleh konektivitas internet, Kecerdasan Buatan (AI), dan perangkat seluler. Inovasi-inovasi ini membuka peluang tak terbatas untuk personalisasi dan akses yang lebih merata, namun di sisi lain, juga membawa serangkaian tantangan baru yang krusial untuk diatasi oleh pelajar, pendidik, dan pembuat kebijakan.
Realisasi nyata dari peluang personalisasi dan akses yang ditawarkan oleh era digital ini terwujud dalam perkembangan pesat Edutech (Teknologi Pendidikan), sebuah sektor yang secara fundamental mengubah metode pembelajaran menjadi daring dan interaktif. Di Indonesia, dampak dari pergeseran ini sangat signifikan: sejak pandemi COVID-19, telah muncul lebih dari 210 startup Edutech yang berkembang pesat dan diperkirakan akan terus meningkat dalam 10 tahun ke depan.
Inovasi yang dibawa oleh platform pembelajaran online—seperti Ruangguru, Zenius, dan Google Classroom—melampaui sekadar pemindahan kelas ke dunia maya. Pilar utama transformasi ini berpusat pada integrasi teknologi canggih. Salah satunya adalah Kecerdasan Buatan (AI), yang digunakan untuk menganalisis pola belajar siswa, mengidentifikasi kelemahan, dan memberikan rekomendasi materi secara personalized. Pendekatan ini membantu siswa memahami konsep lebih efektif dan mendukung kemandirian belajar. Selain itu, Pembelajaran Hibrida (Blended Learning) menjadi model dominan, menggabungkan kekuatan interaksi tatap muka dengan fleksibilitas materi online. Pendekatan ini memberikan kebebasan lokasi dan waktu bagi siswa dan guru, sambil tetap memastikan interaksi sosial yang maksimal. Transformasi ini juga didukung oleh Digitalisasi Infrastruktur Sekolah, di mana pemerintah telah memasang lebih dari 173.000 papan interaktif digital di 288.865 sekolah, memfasilitasi guru untuk menyajikan materi secara visual, menarik, dan interaktif.
Meskipun inovasi membawa optimisme, transformasi digital tak lepas dari tantangan struktural yang harus dihadapi, yang jika tidak diatasi, berpotensi memperlebar jurang ketidaksetaraan pendidikan. Tantangan pertama adalah Kesenjangan Digital, di mana akses ke teknologi belum merata antara daerah perkotaan dan pedesaan, menyebabkan ketimpangan kualitas. Kedua, rendahnya Literasi Digital Guru dan Siswa menjadi penghambat utama; kurangnya pelatihan dan kesiapan guru dalam mengimplementasikan alat-alat digital secara efektif membatasi potensi teknologi. Ketiga, terdapat Risiko Ketergantungan Teknologi di mana siswa bisa kehilangan interaksi sosial langsung yang penting bagi perkembangan karakter dan soft skills mereka. Dan yang tidak kalah penting, Keamanan Data dan Privasi harus mendapat perhatian serius, mengingat platform digital mengelola data siswa dalam jumlah besar yang rentan terhadap ancaman cybercrime dan penyalahgunaan informasi.
Fenomena digital di Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik: Platform pendidikan digital mengalami pertumbuhan pengguna lebih dari 50% tiap tahun sejak 2020, menunjukkan adopsi masyarakat yang sangat tinggi. Di samping itu, Integrasi AI dalam pembelajaran terus meningkat signifikan, terlihat dari maraknya penggunaan chatbot tutoring dan sistem analisis hasil belajar otomatis. Adanya dukungan akademis berupa workshop dan pelatihan AI bagi guru yang diadakan oleh perguruan tinggi terkemuka, seperti Universitas Lampung dan Universitas Indonesia, turut membuka peluang yang lebih besar untuk adaptasi teknologi yang cepat dan terstruktur di lingkungan sekolah.
Biodata Penulis:
Fakhrun Nisa saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid.