Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengenal Ashabiyah Ibnu Khaldun dan Relevansinya bagi Kepemimpinan di Sekolah

Ingin tahu mengapa sebagian sekolah lebih solid? Yuk kenali konsep ashabiyah Ibnu Khaldun dan lihat bagaimana ia relevan untuk kepemimpinan modern.

Oleh Fairuz Zaman

"Mengapa sebagian sekolah mampu berkembang menjadi komunitas yang solid dan bergerak harmonis, sementara yang lain tampak rapuh dan mudah terpecah?"

Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari problem pendidikan modern, tetapi telah lama dibahas oleh Ibnu Khaldun melalui konsep ashabiyah. Meski lahir dalam konteks masyarakat abad ke-14, gagasan ini ternyata menawarkan cara pandang yang relevan untuk membaca fenomena kepemimpinan sekolah saat ini.

Apa Itu Konsep Ashabiyah

Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, ashabiyah bukan sekadar ikatan emosional, tetapi kekuatan sosial yang membuat sebuah kelompok mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Ia adalah energi yang muncul dari kesadaran kolektif bahwa anggota kelompok saling membutuhkan dan saling memperkuat. Kekuatan inilah yang menurut Ibnu Khaldun menentukan bangkit–runtuhnya peradaban. Ketika ashabiyah kuat, kelompok mampu bergerak dengan komitmen dan tujuan yang sama; ketika melemah, sistem apa pun akan ikut goyah.

Kepemimpinan di Sekolah

Jika ditarik ke konteks kepemimpinan sekolah, ashabiyah dapat dipahami sebagai modal sosial yang harus dibangun seorang pemimpin agar seluruh unsur sekolah merasa terhubung dengan visi yang sama. Kepemimpinan bukan hanya tentang menjalankan struktur birokratis, tetapi menciptakan kohesi di antara guru, staf, dan peserta didik. Sekolah yang dipimpin dengan semangat kolektif semacam ini biasanya memiliki budaya kerja yang lebih sehat: guru merasa dihargai, komunikasi berjalan lebih terbuka, dan keputusan diambil dengan mempertimbangkan kepentingan bersama.

Sebaliknya, sekolah yang kehilangan ashabiyah biasanya menunjukkan tanda-tanda fragmentasi. Guru berjalan sendiri-sendiri, staf kurang merasa bagian dari proses, dan peserta didik merasakan kurangnya harmoni dalam lingkungan belajar. Ibnu Khaldun menggambarkan situasi seperti ini sebagai pertanda menurunnya vitalitas kelompok. Dalam konteks sekolah, hal itu dapat berujung pada stagnasi, konflik internal, dan sulitnya perubahan diterapkan.

Bagaimana Relevansinya?

Relevansi gagasan Ibnu Khaldun bukan terletak pada istilah yang digunakan, tetapi pada prinsip dasarnya: sebuah institusi pendidikan bertahan bukan karena aturan dan sistem semata, tetapi karena kualitas hubungan manusia di dalamnya. Kepala sekolah yang mampu menumbuhkan kepercayaan, kolaborasi, dan loyalitas kolektif pada akhirnya sedang membangun ashabiyah modern. Inilah yang menjadi fondasi bagi terbentuknya budaya sekolah yang kuat dan adaptif.

Konsep ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial yang melingkupinya. Di tengah tuntutan perubahan kurikulum, kompetisi akademik, dan kebutuhan inovasi pembelajaran, pemimpin sekolah justru membutuhkan fondasi sosial agar perubahan tidak berjalan secara prosedural semata, tetapi mendapatkan dukungan emosional dan moral dari seluruh warga sekolah. Di sinilah pemikiran Ibnu Khaldun tetap relevan: perubahan hanya mungkin berjalan ketika ikatan kolektif kuat mendukungnya.

Referensi:

  1. Ibn Khaldun. (2015). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press. [https://archive.org/details/muqaddimah](https://archive.org/details/muqaddimah)
  2. Cheddadi, A. (2020). Ibn Khaldun. In The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition). [https://plato.stanford.edu/entries/ibn-khaldun/](https://plato.stanford.edu/entries/ibn-khaldun/)
  3. Alatas, S. F. (2004). Applying Ibn Khaldun: The recovery of a lost tradition in sociology. Sociology, 38(3), 573–593. [https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038504040863](https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038504040863)
  4. Ali, A. (2019). Ashabiyah and social solidarity: Relevance to contemporary society. Journal of Islamic Thought and Civilization, 9(1), 75–89. [https://doi.org/10.32350/jitc.91.05](https://doi.org/10.32350/jitc.91.05)
  5. Udin, T. (2020). Kepemimpinan pendidikan dalam perspektif pemikiran Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Repository. [https://repository.uinjkt.ac.id/](https://repository.uinjkt.ac.id/)
  6. Hasan, H. (2018). Kepemimpinan pendidikan di era modern. Deepublish.

Biodata Penulis:

Fairuz Zaman saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

© Sepenuhnya. All rights reserved.