Oleh Luna Aiswara
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, pelajar hari ini hidup dalam dunia yang serba cepat, penuh informasi, dan tak jarang membingungkan. Ponsel yang mereka genggam bukan hanya alat komunikasi, tetapi menjadi ruang belajar, ruang hiburan, hingga tempat mencari jati diri. Kemajuan teknologi memang membawa banyak manfaat positif, tetapi juga menghadirkan tantangan besar berupa arus informasi tanpa filter, konten negatif yang mudah diakses, serta pengaruh media sosial yang sering membentuk pola pikir dan perilaku remaja.
Dalam kondisi seperti ini, keberadaan guru agama menjadi sangat signifikan. Guru agama bukan sekadar penyampai materi pelajaran, melainkan figur yang membimbing, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral. Pendidikan Agama Islam pada hakikatnya memang lebih dari sekadar teori; ia mencakup pembiasaan akhlak, pendampingan spiritual, serta pembentukan pribadi yang berintegritas. Hal ini sejalan dengan pendapat Zubaedi (2011) yang menegaskan bahwa pembentukan karakter hanya dapat berhasil jika peserta didik mendapatkan keteladanan dan pembiasaan yang konsisten.
Guru agama berperan penting dalam membantu pelajar memahami bahwa agama tidak hanya ritual, tetapi pedoman hidup. Di era digital, pelajar sering terpapar konten agama dari media sosial yang belum tentu valid. Dalam konteks ini, guru agama hadir sebagai penuntun agar pelajar terhindar dari paham instan dan informasi keagamaan yang menyesatkan. Hidayat (2015) menjelaskan bahwa guru agama menjadi penjaga keseimbangan moral peserta didik dengan memberikan pemahaman agama yang utuh dan sesuai sumber terpercaya.
Pelajar masa kini juga membutuhkan pendekatan yang lebih dialogis. Mereka tidak lagi cukup hanya mendengar ceramah, tetapi ingin terlibat dalam diskusi, bertanya, dan mendapat kejelasan atas hal-hal yang mereka temui di internet. Prensky (2010) menyebut generasi saat ini sebagai digital natives, yaitu generasi yang terbiasa belajar melalui interaksi, visual, dan percakapan dua arah. Karena itu, guru agama yang mampu membuka ruang dialog akan lebih efektif dalam membimbing mereka memahami fenomena digital dari perspektif Islam.
Literasi digital juga menjadi aspek penting yang perlu ditanamkan. Guru agama tidak harus menjadi pakar teknologi, tetapi perlu mengarahkan pelajar agar kritis dalam mengonsumsi konten digital. Pelajar perlu belajar membedakan sumber yang kredibel dan yang tidak. Menurut Livingstone (2011), literasi digital merupakan kemampuan esensial bagi remaja agar tidak terjebak pada informasi palsu dan narasi ekstrem. Dalam hal ini, guru agama memiliki peran dalam mengajarkan etika bermedia, motivasi spiritual, serta kesadaran moral ketika menggunakan teknologi.
Keteladanan guru agama tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan karakter. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa akhlak tidak terbentuk hanya melalui kata-kata, tetapi melalui contoh nyata dan pembiasaan berulang. Siswa akan lebih mudah meniru tindakan guru dibanding mengingat nasihat yang hanya disampaikan secara lisan. Sikap guru yang santun, disiplin, jujur, dan ramah akan memberi pengaruh besar bagi perkembangan karakter pelajar dalam kehidupan sehari-hari.
Di era digital, pelajar juga memerlukan bimbingan dalam menjaga batasan moral di internet. Guru agama perlu mengingatkan mereka untuk berhati-hati dalam bergaul di media sosial, menjaga diri dari konten negatif, dan menggunakan teknologi dengan penuh tanggung jawab. Menjaga jejak digital bukan hanya persoalan etika, tetapi juga bagian dari amanah moral sebagai seorang muslim. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang menekankan pentingnya etika dalam segala aktivitas manusia, termasuk dalam dunia digital.
Selain itu, guru agama berperan besar dalam membiasakan ibadah dan akhlak mulia dalam kehidupan sekolah. Kegiatan sederhana seperti shalat dhuha, tadarus, salam, dan gotong royong dapat menjadi fondasi pembentukan karakter. Samsul Nizar (2017) menyatakan bahwa pendidikan karakter dalam Islam berjalan efektif melalui pembiasaan yang dilakukan terus-menerus dalam lingkungan pendidikan yang kondusif.
Kerja sama antara guru agama, orang tua, dan sekolah juga sangat diperlukan. Pendidikan karakter tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Ketika guru agama memberikan pembiasaan akhlak di sekolah dan orang tua mendukungnya di rumah, karakter pelajar akan terbentuk lebih kuat dan stabil. Sinergi ini merupakan bagian dari konsep pendidikan Islam yang menekankan keterlibatan keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan ekosistem pendidikan.
Pada akhirnya, peran guru agama dalam membentuk karakter pelajar di era digital bukan hanya penting, tetapi merupakan kebutuhan utama. Guru agama hadir sebagai pembimbing spiritual, panutan moral, pendamping literasi digital, serta penjaga nilai-nilai Islam di tengah derasnya arus teknologi. Dengan bimbingan guru agama yang kompeten dan penuh kasih, pelajar dapat tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berakhlak, dan bijak dalam memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat dan bernilai ibadah.
Daftar Pustaka:
- Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Darul Fikr.
- Hidayat, A. (2015). Pendidikan Agama Islam dan Pembentukan Karakter. Jakarta: Rajawali Pers. Livingstone, S. (2011). Digital Literacy and Learning. London: Palgrave.
- Prensky, M. (2010). Teaching Digital Natives: Partnering for Real Learning. California: Corwin Press.
- Samsul Nizar. (2017). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana.
Biodata Penulis:
Luna Aiswara saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Agama Islam, di UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan.