Sejarah Makam Bogem: Makam Dewi Nawangsasi

Makam Bogem atau Makam Dewi Nawangsasi merupakan sebuah makam yang terletak di Desa Salamerta Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara.

Makam Bogem

Dewi Nawangsasi, Permaisuri yang Terbuang

Dewi Nawangsasi, atau nama aslinya adalah Nyai Bogem. Beliau merupakan seorang putri dari Ki Ageng Giring yang pada awalnya dipersunting dari Panembahan Senopati dengan nama aslinya adalah Sutawijaya, yang merupakan seorang putra dari Ki Ageng Pamanahan.

Beliau merupakan seorang menantu dari seorang tokoh yang cukup berpengaruh yaitu Ki Ageng Pamanahan, seseorang yang telah berjasa merintis dan mendirikan Kerajaan Mataram Islam di Nusantara.

Hingga saat ini, di lingkungan masyarakat Jawa masih kental berbagai budaya leluhur seperti mencari derajat, pangkat, rezeki, kekayaan dan martabat di makam keramat. Salah satunya yaitu makam keramat yang ada di sebuah Desa Salamerta, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, tepatnya adalah Makam Dewi Nawangsasi atau Mbah Bogem.


Sejarah Makam Bogem
Makam Dewi Nawangsasi

Makam Bogem


Makam Bogem atau Makam Dewi Nawangsasi merupakan sebuah makam yang terletak di Desa Salamerta Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Dijelaskan oleh Mbah Sumowihadi selaku juru kunci makam ini, beliau telah menjadi juru kunci dari tahun 1972 hingga saat ini. Juru kunci makam bogem ini turun temurun dari sang kakek hingga ayahnya, dan kini beliaulah yang menjaga makam ini. Sekiranya kurang lebih sudah 50 tahun selama beliau menjaga makam bogem ini. Beliau menyampaikan setiap malam Senin dan Kamis Manis ramai oleh para peziarah. Orang-orang berdatangan bertujuan untuk ziarah dengan niat meminta kepada Allah melalui wasilah dari Dewi Nawangsasi, ada yang melakukannya agar usahanya sukses. Juga ada yang hendak menikah agar disayang keluarga dan pasanganya.

Makam Bogem (Makam Dewi Nawangsasi) atau bisa disebut Dewi Nawang Wulan yang merupakan putri dari Ki Ageng Giring yang makamnya berada di Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan, yang mana makamnya biasa disebut dengan Makam Girilangan. Alasan dinamakan Makam Girilangan ini karena pada saat hendak dimakamkan jasadnya menghilang di tandu sehingga orang menyebutnya sebagai Girilangan.

Dawi Nawangsasi ini adalah seorang mantan istri dari penguasa Kerajaan Mataram Islam yang diusir oleh rajanya, bernama Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati yang kemudian memiliki seorang anak bernama Jaka Umbaran.

Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan berteman sudah seperti saudara kandung. Keduanya berjanji akan menikahkan anak-anaknya. Allah SWT mengabulkan harapan keduanya. Putri Ki Ageng Giring dinikahkan dengan putra Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya. Nama Sutawijaya adalah sebutan anak Sultan Hadiwijaya, seorang raja dari kerajaan Pajang. Awal mulanya di pertempuran yang sengit antara Arya Penangsang (Adipati Jipang Panolan) dengan Sutawijaya. Sutawijaya jasanya sangat besar karena berhasil membinasakan Arya Penangsang yang hampir menghancurkan Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Sutawijaya diangkat jadi anak dan mendapatkan imbalan sebab sudah membantu.

Dewi Nawangsasi dan Sutawijaya menikah yang mana pada saat itu sedang mengandung bayi 4 bulan. Tetapi di sela-sela itu terjadi perselisihan antara mereka karena Dewi Nawangsasi melakukan sebuah kesalahan yang menjadikannya tidak harmonis. Dewi Nawangsasi diusir dari kerajaan Mataram oleh Sutawijaya untuk pulang ke rumah bapaknya yaitu Ki Ageng Giring di sebuah desa.

Dewi Nawangsasi meninggalkan kerajaan dengan keadaan mengandung anaknya. Tetapi Dewi Nawangsasi tetap sabar menerima serta ikhlas atas perlakuan suaminya. Dewi Nawangsasi melahirkan bayi laki-laki tanpa ditemani oleh suaminya. Bayi itu diberi nama Jaka Umbaran.

Ketika Jaka Umbaran sudah besar, dia menanyakan kepada ibunya Dewi Nawangsasi, mengenai siapa dan dimanakah ayahnya. Akhirnya Jaka Umbaran tahu kalau ayahnya adalah penguasa tunggal kerajaan Mataram. Ki Ageng Giring menyuruh Jaka Umbaran untuk menemui ayahnya yang bernama Sutawijaya.

Kemudian, berangkatlah Jaka Umbaran ke Kerajaan Mataram. Sesampainya di sana, di hadapan raja yang tak lain ayahnya sendiri, Jaka Umbaran menyampaikan bahwa dia adalah anaknya. Sutawijaya kurang percaya, kalau Jaka Umbaran itu anaknya. Tetapi Jaka Umbaran mengaku dia anaknya yang hidup bersama ibu dan dititipkan kakeknya, Ki Ageng Giring. Sutawijaya yakin kalau Jaka Umbaran diperintah oleh Ki Ageng Giring. Akhirnya Sutawijaya akan mengakui Jaka Umbaran sebagai anak setelah syarat yang diminta terpenuhi.

"Aku akan mengakuimu sebagai anakku, tetapi kamu harus memenuhi sebuah syarat." Ucap Sutawijaya pada Jaka Umbaran.

"Baiklah ayah, perintahmu akan aku penuhi." Jawab Jaka Umbaran.

"Jaka Umbaran, ini keris yang belum diberi rangka. Sampaikan keris ini pada kakekmu Ki Ageng Giring. Katakan bahwa keris tersebut diberi rangka berupa kayu Purwosari."

Jaka Umbaran terus pulang dan menyampaikan pesan dari ayahnya kepada kakeknya Ki Ageng Giring.

Jaka Umbaran senang, karena ayahnya adalah raja. Tetapi dirinya tidak tahu bahwa pesan dari ayahnya tadi akan memisahkannya dengan ibu dan kakeknya. Sampai di rumah, Jaka Umbaran menyampaikan pesan dari ayahnya, rangka keris kayu "Purwosari".

Dewi Nawangsasi bahagia, anaknya bisa bertemu dengan ayah kandungnya. Tetapi Dewi Nawangsasi bingung dan curiga dengan isi pesan dari Sutawijaya. Sebab dirinya baru tahu rangka keris kayu "Purwosari". Mengapa Ki Ageng Giring yang diutus membuat rangka keris? Padahal di Mataram banyak ahli rangka.

Semakin curiga melihat tingkah ayahnya terlihat terharu menatap keris pusaka Mataram. Ternyata ada maksud dari pesan yang disampaikan Sutawijaya, Ki Ageng tahu pesannya.

"Purwa" artinya asal, "Sari" artinya bunga, Puspita, lambangnya wanita, yaitu Dewi Nawangsasi. Kayu "Purwasari" artinya jiwa raganya Ki Ageng Giring. Jaka Umbaran dianggap anaknya yang sah, jika Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi mati karena keris pusaka Mataram tadi.

Akhirnya Ki Ageng Giring membuat keputusan yang bijaksana untuk masa depan cucunya. Jaka Umbaran langsung menemui ayahnya di Mataram, dan mengatakan ibu dan kakeknya sudah meninggal dunia. Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi pergi ke arah barat meninggalkan Mataram.

Waktu telah berlalu dan usia pun kian bertambah. Sementara hati nurani seorang Ibu yang ditinggal anaknya pergi pada saat itu menjadikan rasa kangen yang tidak bisa terbendung lagi. Tetapi untuk datang ke Ibu Kota Kerajaan Mataram dipikirnya sungguh nista, apalagi Sutawijaya telah mengetahui bahwa Dewi Nawangsasi dan Ki Ageng Giring sudah tiada. Sehingga pada saat itu sangat tidak mungkin kalau dirinya harus datang ke Kerajaan Mataram. Dipendamlah rasa rindu kepada anak semata wayang yang tentunya pada kala itu sudah beranjak dewasa. Hingga akhirnya pada suatu hari Dewi Nawangsasi dan Ki Ageng Giring berniat menyepi di dalam sebuah hutan. Dewi Nawangsasi terus berjalan ke arah timur dengan hanya berbekal sekotak kinang yang komplit dan merupakan kesukaannya. Dia tak bisa lepas dari kotak kinang yang pada zaman dahulu disebut "Bogem". Kotak itu selalu dibawa ke mana pun dia pergi, termasuk pada saat itu.

Berkat rahmat dari Allah SWT, pengembaraan keduanya tidak mengalami rintangan, banyak warga kampung yang dilewati menolong mereka. Keduanya pasrah meninggalkan Mataram demi masa depan Jaka Umbaran. Akhirnya ayah dan anak itu sampai di kawasan hutan yang mengalir sungai luas dan jernih airnya. Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi beristirahat di situ. Dewi Nawangsasi mendapat wangsit, untuk bersemedi di bawah pohon yang rindang dan rimbun daunnya, tidak jauh dari sungai tadi, yang sekarang dinamai Kali Sapi. Akhirnya keduanya memutuskan berpisah, Dewi Nawangsasi tetap bertapa dan ayahnya Ki Ageng Giring terus mengembara.

Ki Ageng Giring menyebarkan agama Islam ke masyarakat sekitarnya, mengadakan acara ngaji, mengajarkan puasa, dan mencontohkan shalat pada masyarakat dengan ikhlas. Sehingga Ki Ageng Giring dianggap sebagai pemuka agama, karena sudah menyebarkan agama Islam dan kebaikan di sana. Ketika sedang berbicara dengan punggawanya, Ki Ageng Giring berpesan. Jika ia meninggal, ingin dikuburkan bersama putrinya Dewi Nawangsasi di Salamerta. Tetapi jika yang membawa jenazah tidak kuat lagi, maka kuburkan di mana saja.

Dewi Nawangsasi hidup sendiri di hutan menjadi Petapa, di bawah pohon jati. Konon pohon itu umurnya sudah ratusan tahun. Pohon jati itu berlubang, dipakai untuk berteduh siang dan malam, dan berdoa dan zikir kepada Allah SWT.

Dewi Nawangsasi hanya makan seadanya, bertekad untuk tidak makan dan terus bersemedi sampai mendapatkan wangsit Ilahi. Konon, wangsitnya Dewi Nawangsasi tetap hidup dan tinggal di daerah itu.


Makam Bogem


Singkat cerita, puluhan tahun sudah Dewi Nawangsasi bersimedi di dalam sebatang pohon jati. Hingga akhirnya ada seorang petani madu tawon yang sedang mencari sarang di hutan itu. Petani madu tawon itu bernama Ki Salim. Karena kelelahan, maka Ki Salim beristirahat dengan bersandar di sebuah pohon jati yang besar, yang besar lingkarnya bisa mencapai satu setengah meter. Terik matahari kala itu sangat menyengat dan udara pun cukup membuat orang kegerahan. Namun, secara tiba-tiba cuaca pada saat itu berubah menjadi awan mendung dengan diiringi semilir angin yang kian lama kian membesar. Kejadian aneh itu membuat Ki Salim tertegun dan bingung. Ki Salim menemukan Dewi Nawangsasi di bawah pohon jati itu. Wajahnya putih seperti kapas. Lalu dibawa pulang oleh Ki Salim, yang tinggal bersama istrinya.

Sudah puluhan tahun Dewi Nawangsasi tinggal di situ dan terkenal menjadi orang suci yang bertuah karena Dewi Nawangsasi mengajarkan agama Islam. Tempat itu akhirnya banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mencari berkah dan berguru.

"Penduduk kampung sekitar seperti Purwokerto dan Purbalingga, banyak yang tertarik dan datang ke tempat pertapaan untuk mohon doa restu, dan ada yang berguru di sana." Kata Sumowihadi selaku Juru Kunci.

Berjalannya waktu, tempat itu berkembang menjadi pemukiman, yang dinamai Salamerta. Asal katanya dari "Sala" dan "Amerta". "Sala" artinya batu, "Amerta" artinya hidup.

Dari nama itu ada doa dan harapannya, semoga menjadi desa yang "urip lan nguripi" atau "hidup dan menghidupi". Desa yang menjadi batu atau tonggak kehidupan dan menghidupkan. Sekarang desa itu bernama Salamerta, masuk Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara.

Dewi Nawangsasi akhirnya meninggal dunia di desa itu dan dimakamkan di dekat pohon jati tua tempatnya bertapa. Sedangkan Ki Ageng Giring jatuh sakit saat melanjutkan pengembaraannya, sehingga dilarang untuk meneruskan mengembara oleh prajuritnya. Setelah melanjutkan perjalanan, pandangan Ki Ageng Giring sudah tidak jelas.

Ki Ageng Giring dan punggawa berjalan lagi tetapi sakitnya Ki Ageng Giring bertambah parah. Ki Ageng Giring meninggal dan diangkat ke arah selatan.

Baru sampai Gunung Wuluh, yang mengangkat jenazah merasa capek sehingga semuanya istirahat. Keranda diletakkan, ketika dibuka ternyata jenazah sudah Ki Ageng Giring sudah hilang yang tersisa hanya kain mori di dalam keranda tersebut. Keranda itu dikuburkan di Gunung Wuluh dan makam itu dinamakan Girilangan, yang menggambarkan jenazah Ki Ageng Giring hilang.

Kebiasaan Dewi Nawangsasi dulu adalah menginang. Setelah wafat, Dewi Nawangsasi meninggalkan sebuah tempat kinang yang disebut "Bogem", tetapi sudah tidak diketahui di mana Bogem tersebut. Sampai sekarang makam itu bernama "Makam Bogem" atau "Makan Mbah Bogem" yang sudah menjadi tempat ziarah dengan niat meminta kepada Allah melalui wasilah dari Dewi Nawangsasi yang ingin doa dan harapannya terkabul. Makam ini ramai dikunjungi pada hari Senin manis dan Kamis manis malam. Tidak hanya sebagai tempat ziarah, tetapi juga sebagai tempat situs sejarah Islam dan juga sebagai edukasi sejarah untuk para pelajar atau siswa.


Makam Dewi Nawangsasi


Profil Penulis:

Ismiatun Khasanah

Ismiatun Khasanah lahir di Banjarnegara pada tanggal 24 Februari 2004. Anak pertama dari 3 bersaudara. Riwayat pendidikan dimulai dari SDN 1 Salamerta , MTS Al-Hidayah Purwasaba, SMK HKTI 1 Purwareja Klampok, dan sekarang sedang menempuh Pendidikan S1 jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Universitas Islam Negri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Dengan pengalaman organisasinya yaitu Karang Taruna Karya Remaja, IPNU/IPPNU dan Pramuka. Adapun karya pertamanya yang ditulis yaitu menulis antologi cerpen dengan judul Various Kinds of Life terbitan 2022.






Rizqon Aflah Kusumawarzaki

Rizqon Aflah Kusumawarzaki lahir di Banjarnegara pada tanggal 20 Mei 2003 dari pasangan bapak PNS dan ibu penjual besek ia memulai awal pendidikan di MI wathoniyah Desa Glempang dan lanjut di SMPN 2 Mandiraja, lalu berlanjut ke SMAN 1 Purwareja, Klampok. Ia cukup aktif di kegiatan Pramuka sewaktu SMP dan Komunitas Motor Mobil semasa SMA. Kini ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Saifudin Zuhri Purwokerto dan mengambil jurusan pendidikan agama Islam di fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

Adapun pengalaman organisasinya adalah Karang Taruna Krida Remaja Glempang, Pramuka, Komunitas Mobil dan Motor serta organisasi Otomotif. Selain itu, adapun buku yang pernah ia tulis adalah antologi cerpen dengan judul Various Kinds of Life terbitan 2022.





Silvi Nur Karimah

Silvi Nur Karimah merupakan sosok wanita mandiri yang lahir di sebuah desa kecil bernama Kecepit, Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Punggelan, pada tanggal 3 November 2001. Ia merupakan seorang mahasiswa di sebuah Universitas Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

Adapun pendidikan formal yang pernah ia tempuh sebelum berada di jenjang perkuliahan dalam pendidikan formal yaitu yang pertama SDN 2 Kecepit lulusan tahun 2013, kemudian ia melanjutkan di MTS Muhammadiyah Kecepit lulusan tahun 2016, dan pada tahun 2017 memutuskan untuk lanjut di MA Miftahussalam Banyumas yang mana di sana ia juga menempuh pendidikan non-formal yaitu Pondok Pesantren Pendidikan Islam Miftahussalam Banyumas lulusan tahun 2020.

Selain itu terdapat juga pengalaman organisasi yang ia naungi di dalamnya yang mana ia pernah menjabat sebagai ketua Tahfidzul Qur'an Pondok Pesantren Miftahussalam, Banyumas, tahun 2019/2020. Tak lupa ia juga seorang yang aktif di desanya yang mana ia menjadi Sekretaris Ikatan Remaja Masjid Al-Muttaqin dengan jabatan periode 2020/2023.

Adapun pengalaman organisasi yang sekarang ia tempuh yaitu menempati jabatan sebagai Sekretari di dalam sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa Pengembangan Ilmu Al-Qur’an dan Seni Islam (UKM PIQSI) Universitas Islam Negri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Divisi Tahfidz Qur'an periode 2022/2023, kemudian sebagai Pengurus Komunitas Rumah Bahasa (KRB) PAI, sebagai anggota pengembangan organisasi periode 2022/2023, dan juga sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Purwokerto, anggota bidang kaderisasi periode 2022/2023.

Buku yang pernah ia tulis adalah antologi cerpen dengan judul Various Kinds of Life terbitan Juni, 2022.

Unaisatuz Zahra

Unaisatuz Zahra lahir di Banjarnegara pada 20 Juli 2003. Menyelesaikan pendidikan dasar di MI Al Ma'Arif Kebakalan pada 2015, dan melanjutkan pendidikan di SMP Takhasus Al Qur'an Kalibeber, Wonosobo lulusan 2018 dan melanjutkan di SMA Takhasus Al-Qur'an Kalibeber, Wonosobo lulusan 2021. Pernah aktif mengikuti kegiatan kesenian thek-thek dan Pramuka di SMA. Sekarang, tengah menempuh studi strata satu semester tiga di Universitas Islam Negri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, dan mengambil konsentrasi pada Pendidikan Agama Islam.

Unaisatuz sempat menempuh pendidikan non-formal di PPTQ Al Asyariyah Wonosobo, Asrama An Nadhira Wonosobo, dan PP Manbaul Husna Purwokerto.

Adapun buku yang pernah ia tulis adalah Antologi Cerpen dengan judul Various Kinds of Life terbitan pada Juni, 2022.

© Sepenuhnya. All rights reserved.