Saat ini banyak pilihan media yang tersedia untuk digunakan sebagai media informasi bagi masyarakat. Salah satu media populer tersebut adalah media digital seperti portal berita daring.
Kemunculan portal daring ini dipengaruhi oleh hadirnya teknologi internet yang mengancam eksistensi dari media cetak atau surat kabar di pasaran. Sehingga mereka harus berlomba-lomba melakukan inovasi dalam upaya memenuhi kebutuhan zaman yang semakin serba digital, contohnya saja media Kompas yang sudah menekuni media daring.
Perubahan portal berita menjadi berbasis daring tentunya memudahkan masyarakat dalam mendapatkan suatu informasi tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Hilangnya batasan ini membuat penyebaran informasi menjadi semakin cepat dan lebih murah. Tetapi, semakin luas dan mudahnya akses dalam mendapat informasi juga akan menimbulkan masalah baru. Hal ini karena kemudahan dan kebebasan itu sendiri, yang menyebabkan siapapun bisa membagikan informasi apapun, terlepas dari kebenaran informasinya. Peristiwa ini sering disebut juga dengan kemunculan beragam berita palsu atau hoaks.
Hoaks adalah informasi yang tidak tepat atau tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Berita hoaks dibuat secara sengaja dengan tujuan yang beragam, di antaranya adalah untuk menggiring opini yang berbanding terbalik dengan fakta dan membentuk suatu persepsi yang menggoyahkan pemahaman masyarakat terkait informasi yang tersebar.
Dampak dari penyebaran berita palsu ini mengakibatkan munculnya berbagai keributan, kesalahpahaman, hingga yang terparah bisa menimbulkan perpecahan di lingkungan sosial.
Faktanya masih banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban dari berita palsu atau hoaks. Dalam data yang dipaparkan oleh Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), ada 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech).
Kemkominfo juga selama tahun 2016 sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi (Jamaludin, 2016).
Hoaks dapat dengan mudah menyebar karena adanya kebiasaan dalam menerima informasi. Seseorang cenderung hanya ingin mendengar apa yang mereka mau dan mengabaikan informasi yang tidak dibutuhkan. Faktor lain yang mendukung cepatnya penyebaran hoaks adalah kurangnya kemampuan literasi.
Tingkat literasi yang rendah menyebabkan munculnya rasa malas untuk memverifikasi kebenaran informasi. Sehingga, penyebaran hoaks ini tidak akan bisa selesai selama tingkat literasi masyarakat masih dalam tingkatan yang rendah.
Mengutip dari laman CNBC Indonesia, Selasa 14/02/2023, ekonom senior Indera Viliani menyebut tingkat literasi digital Indonesia hanya sebesar 62 persen. Jumlah tersebut paling rendah jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN yang rata-ratanya mencapai 70 persen.
Jadi, kemampuan literasi digital memiliki peranan penting dalam menghentikan penyebaran berita hoaks. Jika masalah ini teratasi, maka akan memudahkan masyarakat dalam membedakan antara berita yang sesuai dengan fakta dengan berita palsu.
Ketua Masyarakat Anti Hoaks, Septiaji Eko Nugroho, menguraikan langkah yang bisa membantu kita dalam mengidentifikasi antara berita hoaks dan berita asli.
- Pertama, berhati-hati dengan penggunaan judul yang provokatif. Jika menjumpai judul yang demikian sebaiknya anda mencari referensi berupa berita serupa yang berasal dari situs resmi.
- Kedua, cermati alamat situs. Apabila berita tersebut bukan berasal dari situs yang telah terverifikasi, maka informasinya bisa dibilang meragukan.
- Ketiga, periksa fakta. Penting bagi kita untuk mengetahui dari mana berita ini berasal.
- Keempat, harus mengecek keaslian foto, karena ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca, dan yang terakhir coba untuk ikut serta dalam grup diskusi anti hoaks. Ini bertujuan supaya anda bisa bertanya mengenai kebenaran suatu informasi kepada anggota di dalam grup tersebut.
Kini akses terhadap informasi semakin dipermudah berkat adanya perkembangan teknologi. Media berita pun, mau tidak mau, harus menyesuaikan diri dengan mulai membuat situs resmi online mereka.
Beralihnya media informasi menjadi media daring tentu saja akan memudahkan kita dalam mengaksesnya. Tetapi, kemudahan akses ini akan menjadi pisau bermata dua. Karena semua orang bebas menyebarkan apapun tanpa perlu merasa bertanggung jawab. Sehingga untuk menghindari hal ini perlu adanya edukasi mengenai pengetahuan internet yang sehat dan pembekalan mengenai literasi media agar masyarakat dapat mengenali ciri-ciri berita hoax, dan penerima dapat mengakses, menganalisis, mengevaluasi dalam menafsirkan suatu berita.
Biodata Penulis:
Rachel Aulia saat ini aktif sebagai mahasiswa, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.
