Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Jari-Jari Pembunuh di Balik Layar Gawai

Penggunaan nama samaran di media sosial menjadi kesempatan beberapa orang untuk menyebarkan ujaran kebencian. Jika orang-orang terdahulu sering ....

Terciptanya globalisasi menjadi gerbang banyak orang berkomunikasi tanpa mengenal adanya batasan ruang dan waktu. Kini orang-orang bisa menjalin komunikasi tanpa harus bertemu di tempat dan waktu yang sama.

Kehidupan manusia seperti berpindah dalam lingkup dunia maya. Berinteraksi dalam jejaring sosial tanpa harus berkenalan sepertinya sudah menjadi hal biasa. Hal ini juga mungkin menjadi alasan mengapa banyak orang lebih nyaman menghabiskan waktu di dunia maya.

Selain itu, tidak ada aturan seseorang harus menggunakan identitas asli untuk membuat akun di media sosial. Bahkan banyak yang lebih memilih untuk menggunakan nama samaran dan identitas palsu dengan dalih keamanan dan kenyamanan.

Mungkin keputusan ini ada benarnya, karena identitas yang tersebar di internet sangat rawan menjadi bahan kejahatan. Tetapi kesempatan ini juga banyak disalahgunakan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab.

Mereka yang merasa bebas untuk melakukan apa saja karena identitasnya tidak terungkap. Penggunaan nama samaran di media sosial menjadi kesempatan beberapa orang untuk menyebarkan ujaran kebencian. 

Jika orang-orang terdahulu sering berpesan agar manusia dapat menjaga lisan dan ucapan, maka saat ini menjaga ketikan sepertinya menjadi pesan utama yang harus disebarkan. Jari menjadi peran utama dalam tindak perilaku seseorang di dunia maya.

Saya sering mendengar peribahasa Sunda yang dilontarkan oleh orang tua saya, yaitu "hade goreng ku basa". Peribahasa ini bermakna bahwa baik buruk seseorang itu dinilai dari bahasanya. Setiap bahasa yang dilontarkan mencerminkan diri seseorang. Betapa kemudian bahasa yang tertuang dalam ucapan maupun ketikan memiliki kekuatan yang besar. Inilah yang jarang disadari oleh banyak orang dan kadang malah sering dilupakan.

Mengetik huruf menjadi sebuah kata dan kalimat memang hal yang sepele. Sepertinya ini pekerjaan ringan untuk dilakukan jari manusia. Tetapi kemudian sekuat apa dampak yang dihasilkan tentu menjadi persoalan yang panjang. Apakah jari-jari ini bisa membuat diri seseorang tumbuh atau justru malah ada yang terbunuh?

Bullying
Foto: pixabay.com

Orang biasa, selebritas terkenal, atau pejabat sekali pun bisa menjadi sasaran ujaran kebencian di media sosial. Mirisnya banyak orang mati karena ulah jari tak berhati-hati.

Contoh kasus kematian karena perundungan siber (cyberbullying) pernah terjadi di tahun 2019. Kasus ini menimpa salah seorang penyanyi dan aktris asal Korea Selatan bernama Choi Jin Ri atau yang lebih dikenal sebagai Sulli. Jasad Sulli ditemukan sudah tidak bernyawa pada 14 Oktober 2019. Berdasarkan indikasi polisi, kematian Sulli disebabkan bunuh diri akibat depresi berat.

Beberapa waktu sebelum ditemukan tak bernyawa, Sulli sering berbagi pengalamannya saat mengalami gangguan kecemasan atau fobia sosial. Dikabarkan artis kelahiran 29 Maret 1994 ini sering melakukan siaran langsung pada akun Instagram sambil menangis.

Tak jarang Sulli mendapatkan komentar buruk akibat dari rumor dan skandal yang menimpanya. Bahkan kasus perundungan ini sampai mengarah pada pelecehan seksual daring. Sulli bahkan pernah memberikan komentar atas perundungan siber yang dialaminya. Ia mengatakan, "Saya bukan orang yang jahat, katakan satu hal saja tentang saya (yang baik) karena saya pantas menerimanya."

Betapa banyaknya komentar jahat yang diterima Sulli hingga ia harus berkata seperti ini. Kasus perundungan siber akhirnya menjadi salah satu pendorong Sulli memutuskan untuk bunuh diri.

Dilansir dari CNBC Indonesia, pemilik akun @jiunlui memberikan komentar atas kematian Sulli. Menurutnya Sulli tidak bunuh diri tetapi dibunuh oleh komentar jahat para netizen. Selama ini Sulli diserang secara konsisten oleh komentar-komentar negatif dari warganet. Pemilik akun @ririjaehyun juga ikut menambahkan bahwa Sulli pernah merasa sedih karena dirundung oleh para haters.

Kematian Sulli meninggalkan kesedihan mendalam bagi para penggemarnya. Tagar #Sulli dan #Meninggal menjadi trending topik di aplikasi Twitter (X). Nama Sulli menjadi judul utama dalam artikel-artikel berita. Warganet banyak yang menyayangkan jika ketikan di dunia maya ternyata bisa sampai merenggut nyawa. Pada tahun-tahun sebelumnya juga banyak artis besar melakukan aksi bunuh diri akibat mendapat perundungan di dunia maya.

Sulli dan para korban yang harus kehilangan nyawa karena perundungan siber seharusnya bisa dijadikan pelajaran bagi semua orang. Mungkin mudah bagi jari mengetik komentar jahat lalu mengunggahnya di media sosial. Setelah itu pun kita masih bisa tidur dengan tenang. Tetapi kemudian apa dampaknya bagi korban?

Komentar-komentar jahat itu belum tentu mudah diterima oleh orang yang membacanya. Seperti ada peribahasa mengatakan, mudah saja bagi kita melempar batu ke dalam air, tetapi kita tidak akan tahu seberapa dalam batu itu bisa tenggelam. Tidak banyak yang sadar betapa besar kekuatan sebuah jari sampai suatu saat ada yang mati.

Maka dari itu, bijaklah dalam menggunakan media sosial. Pikirkan kembali apa yang akan kita unggah dan seperti apa dampaknya bagi orang lain. Satu kalimat perundungan hanya akan menjadi sekelebat bacaan bagi kita. Tetapi akan menjadi kenangan yang terus membayang bagi hidup korban.

Jejak digital dalam gawai adalah rekam diri yang harus kita waspadai. Jangan hanya karena mengedepankan emosi, lalu sebuah jari mengantarkan kita masuk ke dalam bui.

Biodata Penulis:

Dhea Belvallia Putri lahir di Bandung, 18 Maret 2004. Mahasiswa aktif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.