Berdasarkan judul, fokus ini membahas tentang kedudukan perempuan dalam menuntut ilmu dan juga agar mengetahui konsep kesetaraan gender yang sesungguhnya, agar tidak terjadi pemburaman dalam pemahaman, karena pengetahuan yang salah akan melahirkan pemahaman yang salah, sehingga menimbulkan tindakan yang salah. Berbicara mengenai perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia adalah berdasarkan pengalaman saya. Hidup sebagai seorang perempuan tidak pernah terasa mudah, khususnya di ranah pendidikan.
Sebenarnya, banyak hal yang tentunya bisa dinilai positif selama saya mencari ilmu di tanah air tercinta ini. Tapi saya akan mulai dari bagaimana saya menyadari bahwa kesetaraan gender dan kuasa memengaruhi kehidupan saya menjadi perempuan.
Pada awalnya, saya menilai bahwa menjadi perempuan itu akan mendatangkan banyak keuntungan. Saya menilai karena lingkungan keluarga saya bersikap demikian, perempuan yang ditetuakan, keputusan diambil berdasarkan pemikiran dari peran ibu, dan contoh lainnya adalah seorang perempuan yang tidak dipaksa untuk melakukan kodratnya yang semata-mata hanya berada di ranjang-dapur-rumah. Keadaan itu cukup adil dan sangat lumrah di keluarga saya, namun tentu saja masih ada orang yang berpikiran bahwa perempuan itu adalah pilar rumah tangga. Dan mengharuskan mereka hanya berdiam diri melakukan semua pekerjaan rumah dan seisinya.
Beranjak dewasa, semakin saya belajar, semakin saya menyadari. Mencari ilmu itu suatu hal yang penting, dan itu bagi semua orang. Tidak ada batasan untuk mendapatkan hak tersebut. Pandangan saya terkait feminisme semakin terbuka dalam ranah perkuliahan.
Sampai suatu ketika saya mendapatkan kejadian tidak mengenakan. Yakni ketika saya sempat menjadi pengajar untuk anak SMA, terjadi perlakuan diskriminatif dari orang tua murid.
Mereka menganggap bahwa pengajar yang baik itu ketika dilakukan oleh seorang laki-laki. Bagi saya itu tidak masuk akal, barangkali mereka beranggapan bahwa ilmu hanya diturunkan kepada para lelaki karena memang nyatanya banyak ilmuan dan tokoh lainnya yang didominasi oleh laki-laki.
Hidup saya memang dikelilingi oleh pandangan anti patriarkis, namun tetap saja terlihat bahwa laki-laki yang memiliki privilege lebih. Kakak lelaki saya dibebaskan untuk memilih jurusan yang ia inginkan, walaupun perempuan dalam keluarga saya ditekankan dalam hal pendidikan, tapi hal itu tidak berarti pilihan kami juga dapat sesuai dengan apa yang kami mau.
Semenjak saya SMA, saya selalu ingin mengambil jurusan hukum atau antropologi, namun mereka menganggap bahwa masih banyak jurusan lain yang lebih bisa mudah dijalani oleh seorang perempuan.
Pada saat itu, pilihan orang tua saya adalah managemen atau akuntansi. Mereka ingin saya menjadi layaknya mereka saat ini, tapi bukan berarti itu yang saya inginkan.
Tekanan yang saya temukan dalam menjadi perempuan adalah hal tersebut, keadaan di mana situasi kehidupan saya harus disetir oleh mereka, meskipun pada nantinya saya diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidup saya sendiri, namun belenggu yang sering diembel-embeli sebagai “harapan orang tua” inilah yang sebenarnya memberatkan saya.
Tapi takdir berkata lain, saya gagal SNMPTN saat mengambil jurusan tersebut. Sedih tentu, karena saya berusaha setengah mati hingga mengorbankan masa remaja saya di SMA hanya untuk belajar.
Dari situ saya banting setir dan jurusan yang saya pilih saat mengikuti SBMPTN adalah Sastra Inggris dan Sastra Indonesia. Jujur, pada awalnya saya sendiri merasa tidak begitu menguasai jurusan tersebut, tapi saya merasa tenang dan yakin pada pilihan tersebut.
Pada akhirnya, saya meniatkan diri untuk mengambil jurusan itu. Selama kurang lebih sebulan penuh saya dedikasikan untuk belajar, bukan hanya mengejar duniawinya saja, tapi juga meminta kemudahan kepada Yang Maha Kuasa.
Dan saya juga akhirnya memberanikan diri untuk bicara dengan orang tua saya. Awalnya mereka tidak setuju dengan keputusan itu. Saya pun mencoba untuk meyakinkan mereka dengan menunjukkan kegigihan saya selama ini.
Konflik lain datang karena mereka mendahulukan kepentingan kakak saya dan segala urusannya, mereka seakan tidak menganggap kemauan saya adalah hal yang serius pula. Lambat laun mereka pun setuju meski masih setengah hati.
Lalu, tibalah hari pengumuman. Saya dinyatakan lulus, semua kerja keras saya seakan terbayar sudah. Dan yang mengejutkan adalah mereka pun terharu dengan hal yang terjadi, dan akhirnya mereka mendukung pilihan saya.
Lika-liku telah saya lalui untuk mendapatkan apa yang saya ingin, perjuangan yang lalu bukan tidak ada artinya, tapi bisa dijadikan pembelajaran untuk hal lainnya di masa mendatang.
Nyatanya, tidak semua anggota keluarga besar saya menyambut kabar ini dengan gembira. Mereka masih saja ada yang beranggapan bahwa tidak ada gunanya melanjutkan pendidikan sampai ke bangku kuliah, apalagi dengan jurusan yang saya ambil jika nantinya hanya akan berakhir di dapur saja.
Meskipun saya menyadari bahwa ada saja orang yang menganggap pendidikan untuk perempuan, tapi saya rasa laki-laki harusnya memaklumi fakta bahwa perempuan juga harus mempunyai edukasi yang dirasa sebanding.
Karena kepintaran seorang ibu nantinya akan memengaruhi bagaimana cara berpikir anak juga, dan menurut saya, pekerjaan rumah itu tidak sepenuhnya tanggung jawab seorang ibu dan perempuan, itu adalah dasar untuk bertahan hidup bagi siapapun.
Jalan yang saya tempuh pastinya masih panjang, masih banyak hal yang harus saya ulik dan banyak hal yang pastinya harus saya pelajari, entah dari Indonesia atau lebih jauh lagi.
Oleh sebab itu, perempuan haruslah berpendidikan supaya mampu mendidik anaknya dengan baik, mampu mencetak generasi-generasi yang mempunyai pengetahuan dan akhlak budi pekerti. Sebab jika yang terjadi justru sebaliknya, perempuan tidak memiliki hak mendapatkan akses pendidikan, anak-anak yang baru lahir tidak akan dapat menemui sebuah konsep madrasah pertamanya yang baik, unggul, berorientasi pada prestasi, dan lain sebagainya.
Saya berharap apa yang selama ini saya pelajari akan membawa perubahan baik, khususnya untuk Indonesia dalam lingkup pendidikan. Sebagai generasi muda, tentunya saya ingin mengambil peran dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik, dan saya harap semua anak di Indonesia, khususnya perempuan, mendapatkan hak yang memang seharusnya mereka dapatkan, yaitu pendidikan.
Semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak boleh terjadi penindasan antara yang satu dengan yang lainnya. Perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki kekhususan-kekhususan, namun secara ontologis mereka adalah sama, sehingga dengan sendirinya semua hak laki-laki juga menjadi hak perempuan.
Dalam bidang pendidikan, laki-laki ataupun perempuan memiliki hak, kewajiban, peluang dan kesempatan yang sama. Kesetaraan gender adalah suatu sistem pendidikan yang merujuk kepada nilai nilai yang pada keseluruhan aspeknya tercermin azas keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menanamkan nilai-nilai yang menjujung tinggi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dan menanamkan sikap anti diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu.
Kedudukan perempuan menuntut ilmu sangat didorong dan didukung, sangat menghendaki pendidikan untuk perempuan yang berkarakter khusus dengan tradisi dan budayanya. Pendidikan harus bebas dari diskriminatif, dalam konteks pendidikan perempuan perspektif ini perempuan diharapkan bisa mendapatkan akses pendidikan yang tidak ada perbedaan dengan laki-laki.
Peranan pendidikan bagi perempuan ini, menurut saya, sangat memiliki fungsi penting dalam rangka ikut partisipasi secara aktif membangun generasi bangsa yang baik. Peranan perempuan dalam berpartisipasi aktif membangun generasi bangsa yang baik sangat penting.
Biodata Penulis:
Nursari Utami Dewi, lahir pada November 2003, merupakan seorang mahasiswa semester tiga Universitas Padjadjaran yang menyukai kegiatan menghabiskan waktu dengan bernyanyi dan memasak. Ia senang sekali mendengarkan lagu, karena baginya, itulah hiburan yang sesungguhnya.

