Sejarah Kantor Urusan Agama (KUA), ialah bermula dari lembaga kepenghuluan yang berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945, kata Yaqut selaku Menag. Kesultanan Mataram pada saat itu memberikan wewenang dan tugas secara khusus kepada seseorang untuk bekerja di bidang kepenghuluan.
Di era pemerintahan Jepang 1943, Pemerintah Jepang membangun kantor yang disebut shumubu, atau seperti yang biasa kita sebut adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Bisa ditarik kesimpulan bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) adalah cikal bakal terbentuknya Kementerian Agama, yang sebelumnya hanya berupa lembaga swasta yang mengatur tentang kepenghuluan.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2018, yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan, yang ditulis dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum Pernikahan Pasal ke-2 berbunyi "Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang beragama islam wajib dicatat dalam akta perkawinan".
Kata “annikah” dalam Al-Qur’an juga disebutkan sebanyak 23 kali. Kata nikah awalnya dimaknai dengan “berhimpun”, Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja yang memiliki arti pasangan. Secara garis besar, Al-Qur’an menggunakan kedua kata ini untuk mengkonseptual makna pernikahan dengan menggambarkan terjalinnya hubungan suam istri yang dilakukan secara sah.
Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab Ayat 49 yang artinya "Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berikan mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti berpasang-pasangan, supaya mereka mengetahui Zat Maha Besar Allah. Ujar Quraish Shihab.
Kembali pada topik pembahasan mengenai perubahan regulasi KUA, yakni mengenai pencatatan pernikahan non-islam yang dapat dilakukan di KUA. Bahwa hal tersebut menuai pro kontra masyarakat Indonesia. Karena selain peraturan normatif dalam hukum perkawinan yang yang diatur melalui UU No. 1/1974, yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan “pegawai yang sah” adalah penghulu untuk penganut islam dan pegawai pencatatan sipil untuk non-islam.
Jika penghulu mendapatkan tugas tambahan berupa pencatatan pernikahan non-islam, maka hal tersebut kontra dengan peraturan yang sudah ditetapkan dalam UU No. 1/1974 di atas. Melirik juga pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 14/2020, yang di dalamnya dinyatakan bahwa pencatatan pernikahan non-islam itu tugas dan tanggung jawab Disdukcapil, yaitu Bidang Fasilitasi Pencatatan Sipil.
Bidang tersebut berstatus sebagai pegawai daerah, sedangkan penghulu statusnya merupakan pegawai pusat yang bertugas di bawah naungan Kemenag, juga pegawai pusat yang ditugasi untuk memberikan layanan di satuan kerja Kemenag yang paling bawah atau yang bisa kita sebut dengan Kantor Urusan Agama (KUA).
Upaya Menag dalam melakukan perubahan regulasi terhadap KUA dianggap kurang efektif untuk dilakukan, karena sebelumnya masyarakat Indonesia yang plural sudah diberikan keadilan serta kenyamanan yang setara. Buktinya pernikahan non-islam berjalan dengan baik dengan dilakukan di tempat tertentu seperti rumah ibadah mereka masing-masing, dan tetap dicatat oleh lembaga terkait seperti yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Opini Menag Yaqut yang mengatakan bahwa “Kementerian untuk semua agama, KUA juga memberikan pelayanan keagamaan pada umat agama non-islam”. Dianggap kurang tepat jika terlaksana, karena di samping dikhawatirkan tidak terlaksana dengan baik, hal itu juga berdampak pada peraturan tertulis yang sudah ditetapkan.
Misal yang terdapat pada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan yang menjelaskan bahwa dalam UU ini diatur mengenai hak dan kewajiban penduduk, kewenangan, penyelenggara, dan dokumen kependudukan, sistem informasi dan administrasi kependudukan, perlindungan data pribadi penduduk, sanksi administratif dan sanksi pidana terkait administrasi kependudukan. Setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Serta bunyi dari UU Nomor 23 Pasal 1 Tahun 2006 adalah Kantor urusan agama kecamatan atau disingkat dengan KUAkec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi penduduk yang beragama Islam.
Nah, jika pencatatan nikah bagi non-muslin itu dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), otomatis banyak undang-undang tentang pernikahan yang bisa direvisi secara total dan pastinya memakan waktu yang lama. Belum lagi perkembangan penduduk yang makin meningkat, dan pernikahan dini yang kian marak sehingga dianggap bisa menimbulkan ketidaksanggupan KUA nantinya, walaupun hal itu bisa diatasi tetapi lebih baik mencegah hal itu terjadi.
Biodata Penulis:
Rifky Nosah Pratama saat ini aktif menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

